Anggota DPRD DKI itu adalah penasihat Fraksi Partai NasDem Inggard Joshua. Kepada detikcom, Minggu (17/4/2016), mantan Wakil Ketua DPRD DKI ini menilai suap tak hanya diberikan kepada Mohamad Sanusi seorang.
Sebagaimana diketahui, Sanusi dicokok KPK karena menerima suap dari perusahaan pengembang reklamasi PT Agung Podomoro Land sebesar Rp 2 miliar. Anggota DRPD DKI dari Fraksi Partai Gerindra itu kemudian menjadi tersangka dalam kasus yang berkaitan dengan pembahasan Raperda soal reklamasi.
Dua Raperda soal reklamasi yang mengemuka di DPRD DKI adalah Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015-2035 dan Raperda Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta. Di dalamnya, memuat soal tambahan kontribusi sebesar 15 persen yang wajib dipenuhi perusahaan pengembang reklamasi. Ada usaha agar tambahan kontribusi 15 persen ini tidak dimuat di Raperda Tata Ruang.
Kembali ke soal suap Rp 5 miliar untuk anggota DPRD DKI, Inggard awalnya tak mau langsung berkomentar. Dia memilih untuk tak mengafirmasi namun juga tak menegasikan kabar itu. Namun akhirnya, dia menyatakan pernah ditawari duit gratifikasi itu namun ditolaknya.
Ketua Fraksi Partai NasDem DPRD DKI Bestari Barus membantah penuturan Inggard. Bestari menyatakan pihaknya tak pernah menerima tawaran apapun. Sejurus kemudian setelah Bestari mengeluarkan pernyataan, Inggard menambahkan bahwa urusan kabar suap itu biarlah KPK yang menangani.
Berikut adalah wawancara detikcom dengan Penasihat Fraksi Partai NasDem Inggard Joshua via telepon:
Wawancara dengan Penasihat Fraksi Partai NasDem Inggard Joshua
Q (pertanyaan): Apa benar ada suap dari pengusaha Rp 5 miliar ke anggota dewan?
A (jawaban): Saya no comment. Wallahu A'lam (Tuhan-lah Yang Maha Tahu -red). Saya tidak bisa mengiyakan dan saya tidak bisa men-tidak-kan.
Saya pernah bilang itu sudah setahun lalu. Tapi kita lihat nanti bagaimana hasilnya.
Q: Apakah setahun lalu itu saat pembahasan Raperda di Badan Legislasi Daerah (Balegda) DPRD DKI?
A: Sebelum dibahas.
Saya melihat ini (reklamasi Teluk Jakarta) urgensinya bukan di DPRD, melainkan di Pemerintah Pusat. Sesuai dengan Perpres yang baru, reklamasi itu urgensinya di Pemerintah Pusat.
(Baca juga: Siapa yang Berhak Beri Izin Reklamasi Pantura, Gubernur DKI atau Menteri?)
Q: Meskipun Keppres 52 Tahun 1995 menyatakan izin reklamasi berada di Gubernur?
A: Oh tidak. Kan sudah diperbaharui di 2008, dipertegas lagi di 2013, terus dikeluarkan lagi Keputusan Menteri Kelautan. Semuanya jelas. Harusnya mengacu itu. Saya pikir keputusan sudah diambil di Pusat, yakni DPR RI dan Menteri Kelautan dan Perikanan yang mengeluarkan aturan dan Undang-undang sudah jelas menyetop itu. Kalau benar kan tidak perlu disetop.
(Baca juga: Komisi IV DPR dan KKP Sepakat Proyek Reklamasi Jakarta Dihentikan)
Kalau masalah sogok-menyogok, biarlah KPK yang menindaklanjuti. Kan sudah ditangkap orangnya, tinggal di-trace saja.
Q: Kalau dimintai keterangan oleh KPK, Anda bakal kooperatif?
A: Soal ada suap atau tidaknya, Wallahu A'lam. Tapi karena ini (Raperda) dipaksakan, mungkin saja bisa terjadi. Pada kenyataannya Anda lihat, kan sudah ada yang tertangkap (Sanusi ditangkap KPK -red)? Kenapa mesti dipermasalahkan lagi?
Ilustrasi Reklamasi (Mindra Purnomo/detikcom)
|
Q: Selain Sanusi...
A: Oh pasti, nanti biarkanlah KPK itu ranahnya KPK yang menyelidiki
Q: Kabar suap itu kapan merebak di kalangan Dewan?
A: Sudah tahun lalu itu. Itu urusannya di Balegda dan di fraksi. Saya anggota DPRD (biasa), bukan Balegda dan bukan Komisi D (Bidang Pembangunan, tempat Sanusi pernah menjadi Ketua Komisi -red).
Tapi saya paling menentang saat dibahas itu
Q: Fraksi NasDem sendiri apakah memang menolak atau mendukung pembahasan Raperda yang terkait Reklamasi itu?
A: Kalau Fraksi NasDem memang inginnya dilanjutkan. Tapi kalau saya menolak. Walau Fraksi menyatakan itu (mendukung pembahasan Raperda dilanjutkan), tapi kalau hati nurani saya menyatakan tidak maka tidak. Kalau dia (Fraksi NasDem) mau menekan saya kan ada jalurnya, yakni hukum. Saya kan di Dewan bukan cari kerjaan, tapi berbuat kebaikan bagi masyarakat. Yang benar kita katakan benar, yang salah kita katakan salah.
Media harus tegas menjelaskan ini, bahwa ini juga ada penyogokan-penyogokan. Nah ini harus diungkap tuntas semuanya.
Q: Nominal suap yang Anda maksud itu benarkan sebesar Rp 5 miliar?
A: Saya pikir kalau Rp 5 miliar is small money lah ya. Itu proyek kan ratusan triliun. Kita pakai logika lah, kenapa sih dipaksakan harus dibahas di Pemda? Padahal aturannya itu (reklamasi) dibahas di (Pemerintah) Pusat saja.
Q: Waktu itu Pak Inggard menolak suap itu?
A: Pokoknya saya mendengar ada seperti itu. Cuma Perda ini bermasalah. Ternyata benar omongan saya setahun lalu, saya sudah mengantisipasi bahwa ini bukan ranahnya DPRD dan Pemprov DKI.
Kalau masalah siapa yang dapat sogokan, itu urusannya KPK. Hanya saja saya sebagai anggota dewan harus menyatakan sejujurnya bahwa yang benar adalah benar.
Q: Apakah Anda sempat ditawari duit suap itu?
A: Anda tanya sama Ketua Fraksi saya deh (Bestari Barus). Kalau saya, saya dapat, saya kembalikan. Tahun lalu itu. Ada buktinya kok.
Q: Tahun lalu, bulan apa itu?
A: Bulan Maret kalau enggak salah. Sudah lama, sebelum itu (Raperda) dibahas.
Q: Dari pihak manakah suap itu?
A: Waduh, itu kan dari Ketua Fraksi saya.
Q: Maksudnya?
A: Ya dari Ketua Fraksi saya, kan saya Fraksi apa begitu? Cuma saya kembalikan.
Q: Tidak langsung dari perusahaan pengembang?
A: Iya. Cuma saya kembalikan.
Selanjutnya, detikcom mengkonfirmasi ke Bestari Barus terkait benar-tidaknya penuturan Inggard, bahwa ada suap Rp 5 miliar yang ditawarkan.
Berikut adalah konfirmasi via SMS kepada Ketua Fraksi Partai NasDem DPRD DKI Bestari Barus:
Q: Apa benar Fraksi Anda pernah menaarkan, ditawarkan, dan menerima pengembalian dari suap yang ditolak itu?
A: Kami di Fraksi tidak pernah ada tawaran apa-apa. Thx
Inggard Joshua menyambung lagi wawancara via telepon. Berikut adalah wawancaranya:
Q: Bestari Barus membantah kebenaran keterangan yang Anda sampaikan...
A: Jadi ini kan sudah dalam proses di KPK. Soal sogok menyogok itu bukan ranah kita. Jadi saya katakan, saya tidak mau berpolemik tentang hal itu. Proses pembuktian itu biarlah aparatur hukum yang membuktikan.
Kalau masalah reklamasi, memang sejak tahun lalu saya tidak setuju, karena rawan masalah hal-hal yang berbau KKN.
Gedung DPRD DKI (Foto: Ari Saputra/detikcom)
|
Saya pernah ditanya wartawan masalah guyuran Rp 5 miliar itu. Saya tidak mengiyakan dan men-tidak-kan. Kita kan tidak mau menyakiti orang. Itu kan ranahnya penegak hukum. Saya berharap kita jangan memperkeruh. Biarlah Sanusi yang berbicara.
Q: Apa benar juga ada tawaran Rp 100 juta untuk memengaruhi kuorum Rapat Paripurna DPRD DKI terkait Raperda itu?
A: Aduh, saya enggak ngerti. Cuma Perda ini kan saya bilang bukan harus segera dibahas. Karena izin reklamasi adalah dari Pemerintah Pusat. Kalau ini (Raperda) dipaksakan dipercepat, pasti ada sesuatu.
No comments:
Post a Comment