Beberapa hari ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mulai memunculkan wacana untuk menambah aturan syarat dukungan bagi calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah. KPU ingin surat pernyataan dukungan terhadap calon perseorangan itu ditambahkan meterai.
Hal tersebut tercantum dalam draf Perubahan Kedua atas Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pencalonan Pemilihan kepala daerah. Kabar ini langsung membuat Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama pusing. Dia mengatakan aturan tersebut hanya akan memperberat pendanaan calon independen.
"Kalau semua pendukung pakai meterai, ada sejuta orang, berarti butuh Rp 6 miliar lho. Duit dari mana kita. Itu namanya mau calon perseorangan bangkrut dong kalau kasih meterai," kata Ahok di Balai Kota, Rabu (20/4/2016).
KPU menyatakan, adanya rencana penyertaan meterai untuk setiap pernyataan dukungan bagi calon independen akan diatur dalam Pasal 14 ayat 8 di Rancangan Peraturan KPU tentang Perubahan Kedua atas Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pencalonan Pemilihan Kepala Daerah.
Menurut KPU, dasar hukum penggunaan meterai adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai.
Dalam peraturan itu, disebutkan bahwa bea meterai dikenakan pada dokumen berupa surat perjanjian dan surat lainnya yang bertujuan sebagai alat pembuktian.
Ahok berpendapat seharusnya penyertaan meterai bukan dikenakan pada pendukungnya, melainkan kepada pasangan calon independen yang maju dalam pilkada.
"Kalau mau mencalonkan diri sebagai calon perseorangan, Anda berdua harus membuat pernyataan siapa yang mendukung Anda di atas meterai. Bukan orang yang dukung, tetapi kami yang harus membuat meterai," ujar Ahok.
Pihak lain yang jelas-jelas merugi dengan aturan ini adalah komunitas pendukung Ahok atau Teman Ahok. Kelompok relawan pendukung itu merupakan garda terdepan dalam proses pengumpulan dukungsn data KTP untuk Ahok dan Heru.
Teman Ahok pernah mengulang pengumpulan KTP-nya dari awal ketika Ahok memilih pasangan calon wakil gubernurnya. Padahal, saat itu KTP yang mereka kumpulkan sudah lebih dari 700.000.
Teman Ahok beruntung karena pengumpulan data KTP berikutnya bisa mereka lakukan dengan mudah. Dalam waktu satu bulan saja, mereka sudah bisa mengumpulkan data KTP sesuai syarat minimum dari KPU.
Jika aturan meterai di setiap dukungan ini diterapkan, TemanAhok terancam harus mengulang kembali pengumpulan data KTP. Teman Ahok pun merasa keberatan dengan aturan itu.
Hal tersebut tercantum dalam draf Perubahan Kedua atas Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pencalonan Pemilihan kepala daerah. Kabar ini langsung membuat Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama pusing. Dia mengatakan aturan tersebut hanya akan memperberat pendanaan calon independen.
"Kalau semua pendukung pakai meterai, ada sejuta orang, berarti butuh Rp 6 miliar lho. Duit dari mana kita. Itu namanya mau calon perseorangan bangkrut dong kalau kasih meterai," kata Ahok di Balai Kota, Rabu (20/4/2016).
KPU menyatakan, adanya rencana penyertaan meterai untuk setiap pernyataan dukungan bagi calon independen akan diatur dalam Pasal 14 ayat 8 di Rancangan Peraturan KPU tentang Perubahan Kedua atas Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pencalonan Pemilihan Kepala Daerah.
Menurut KPU, dasar hukum penggunaan meterai adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai.
Dalam peraturan itu, disebutkan bahwa bea meterai dikenakan pada dokumen berupa surat perjanjian dan surat lainnya yang bertujuan sebagai alat pembuktian.
Ahok berpendapat seharusnya penyertaan meterai bukan dikenakan pada pendukungnya, melainkan kepada pasangan calon independen yang maju dalam pilkada.
"Kalau mau mencalonkan diri sebagai calon perseorangan, Anda berdua harus membuat pernyataan siapa yang mendukung Anda di atas meterai. Bukan orang yang dukung, tetapi kami yang harus membuat meterai," ujar Ahok.
Pihak lain yang jelas-jelas merugi dengan aturan ini adalah komunitas pendukung Ahok atau Teman Ahok. Kelompok relawan pendukung itu merupakan garda terdepan dalam proses pengumpulan dukungsn data KTP untuk Ahok dan Heru.
Teman Ahok pernah mengulang pengumpulan KTP-nya dari awal ketika Ahok memilih pasangan calon wakil gubernurnya. Padahal, saat itu KTP yang mereka kumpulkan sudah lebih dari 700.000.
Teman Ahok beruntung karena pengumpulan data KTP berikutnya bisa mereka lakukan dengan mudah. Dalam waktu satu bulan saja, mereka sudah bisa mengumpulkan data KTP sesuai syarat minimum dari KPU.
Jika aturan meterai di setiap dukungan ini diterapkan, TemanAhok terancam harus mengulang kembali pengumpulan data KTP. Teman Ahok pun merasa keberatan dengan aturan itu.
"Ini enggak sesuai sama asas KPU, dalam penyelenggaraan pemilu kan harus efisien, ini enggak efisien," kata Juru Bicara TemanAhok, Singgih Widiyastomo.
Singgih pun mempertanyakan alasan wacana ini muncul setelah calon independen DKI ramai diperbincangkan. "Kenapa momennya pas DKI lagi mau independen? Terus juga uji publik enggak melibatkan kita," ujarnya.
Singgih berharap wacana ini dibatalkan sehingga mereka tidak direpotkan dengan pekerjaan tambahan. Ia mempertanyakan perlunya wacana ini dipenuhi.
Singgih berharap wacana ini dibatalkan sehingga mereka tidak direpotkan dengan pekerjaan tambahan. Ia mempertanyakan perlunya wacana ini dipenuhi.
Klarifikasi KPU
Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendapatkan solusi atas penggunaan meterai pada surat pernyataan dukungan yang diserahkan oleh calon independen. Materai tidak ditambahkan disetiap dukungan melainkan untuk dukungan per desa saja. Untuk di Jakarta, berarti per kelurahan.
"KPU telah putuskan bahwa penggunaan meterai itu cukup per desa saja," kata Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay.
Hal ini pun mengakhiri polemik penggunaan meterai yang harus dibubuhkan tiap orang jika ingin memberikan dukungan kepada calon independen.
Teman Ahok pun mengaku tidak keberatan dengan keputusan KPU itu. Artinya, materai hanya dibubuhkan dalam dokumen B1 KWK atau dokumen kolektif per desa atau kelurahan.
Dengan aturan itu, Teman Ahok hanya perlu mengeluarkan dana sekitar Rp 1.500.000 untuk membubuhkan meterai dalam dokumen B1 KWK seluruh kelurahan di Jakarta.
"Kami mampulah," kata Singgih Widiyastomo.
No comments:
Post a Comment