Tuesday, May 5, 2015

Kondisi Wilayah Perbatasan RI Jauh Tertinggal dari Malaysia

Kondisi Wilayah Perbatasan RI Jauh Tertinggal dari Malaysia
Jakarta -Kondisi wilayah perbatasan Indonesia dengan Malaysia sangat jauh tertinggal daripada Negeri Jiran tersebut. Penduduk perbatasan di Indonesia kesulitan mendapatkan akses komunikasi, infrastruktur hingga distribusi bahan pokok.

"Kalau Indonesia dengan Papua Nugini kita lebih tinggi, Timor Leste kita juga lebih tinggi. Tetapi kalau dengan Malaysia, kita jauh lebih tertinggal," kata Asisten Deputi Potensi Kawasan Perbatasan Laut Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) Sunarto saat ditemui di Kantor Kemendag, Jalan Ridwan Rais Jakarta, Selasa (5/05/2015).

Oleh karena itu untuk mengurangi ketertinggalan masyarakat Indonesia di wilayah perbatasan dengan negara lain, tahun ini BNPP merekomendasikan kepada pemerintah agar dibuat semacam kawasan PKSN atau Pusat Kegiatan Strategis Nasional. Sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No 26/2008 pemerintah sudah memetakan akan membuat 28 PKSN sebagai 'pintu gerbang' perbatasan.

Di dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah (RPJMN) 2015-2019 ada 10 PKSN yang akan dibangun. Sebanyak 5 PKSN di kawasan perbatasan daratan dan 5 lainnya di kawasan perbatasan laut yang menjadi konsentrasi awal pemerintah.

"Dari 26 tadi, BNPP menetapkan 10 PKSN, yang 5 di darat dan 5 di laut. Yang di laut ada Sabang, Ranai (Kepulauan Natuna), Nunukan (Kalimantan Utara), Sangihe (Sulawesi Utara), dan Saumlaki (Maluku Tenggara Barat)," tuturnya.

Kelima kota tadi akan ditetapkan menjadi pintu gerbang utama perbatasan negara. Seperti Nunukan adalah pintu gerbang perbatasan laut antara Indonesia-Malaysia, Sangihe Indonesia-Filipina, Saumlaki Indonesia-Timur Leste dan Australia.

"Oleh karena itu pemerintah harus investasi infrastruktur dasar seperti pelabuhan, transportasi, dan konektivitas lainnya," tambahnya.


Proses selanjutnya adalah bagaimana kelima PKSN harus dihubungkan dengan pusat kegiatan wilayah (PKW). Misalnya Sangihe harus dihubungkan dengan Kota Bitung dan dihubungkan kembali dengan Surabaya sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN).

Sama halnya dengan Sangihe, Ranai juga akan hubungkan Batam sebagai PKW dan Jakarta PKN dan Sabang menghubungkan Medan sebagai PKW dan Jakarta sebagai PKN.

"PKSN harus satu klaster tujuannya agar kita tidak tertinggal dengan negara tetangga," katanya.

BNPP juga mengusulkan kepada pemerintah untuk membuka satu lagi pintu perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste di Alor Timur. Selama ini pintu perbatasan antara Indonesia-Timur Leste hanya mengandalkan pintu perbatasan Atambua.

"Membuka border cross agreement di Alor Timur karena alor Timur secara geografis sangat dekat dengan NTT (Nusa Tenggara Timur)," ungkap Sunarto.

Dengan dibukanya pintu perbatasan Alor Timur, maka arus mobilitas masyarakat kedua negara bisa lebih mudah. Jalur mobilitas masyarakat NTT yang ingin ke Timor Leste selama ini mengandalkan Atambua yang jaraknya cukup jauh dan memerlukan waktu sekitar 30 jam.

"Sesuai dengan aturan dia harus lewat Atambua. Kan muter jauh. Potensi ekonomi dan laut cukup bagus. Sebetulnya secara langsung tidak, ada pintu Atambua, yang menjadi masalah adalah di sekitar sana. Dari Alor ke Atambua satu setengah hari," tuturnya.

Terkait potensi ekonomi bila pintu perbatasan Alor Timur dibuka, Sunarto mengatakan Indonesia sangat diuntungkan. Timor Leste masih mengandalkan berbagai macam produk ternak, ikan dan jagung dari NTT untuk kebutuhan hidup mereka sehari-hari.

"Sementara ini ternak babi, kambing, jagung, perikanan juga dari kita jadi memberikan dampak positif sekali untuk ekonomi. Sehari untuk level kecamatan (nilai transaksi) Rp 300 juta/hari. Namun di sana belum ada bank devisa untuk menukar uang. Kalau jual ke Timor Leste dapat dolar, pulang dapat dolar kan kembali lagi. Rate dia kan rendah. Jadi ini juga harus diperhatikan," katanya.

No comments:

Post a Comment