Tuesday, April 26, 2016

Bakal Cagub Daftar ke Banyak Partai, Mengapa?

Fenomena bakal calon gubernur yang mengikuti penjaringan di banyak partai politik menarik perhatian publik.
Sepak terjang calon seperti itu tak luput dari sindiran tajam sejumlah pihak. Namun, ada pula yang menganggapnya wajar.
Pengamat politik dari Charta Politika Yunarto Wijaya menyatakan, langkah tersebut adalah konsekuensi dalam mengikuti Pilkada DKI.
Sebab, calon mana pun mesti mempertimbangkan kemungkinan partai-partai berkoalisi untuk mengumpulkan perolehan 22 kursi di DPRD DKI sebagai syarat mengusung calon gubernur dan wakil gubernur.
Dari sekian partai, hanya PDI Perjuangan (PDI-P) yang memenuhi persyaratan jumlah kursi tersebut sehingga dapat mengusung calonnya tanpa perlu berkoalisi.
Selain itu, bisa juga para calon mengikuti penjaringan bakal cagub di banyak partai untuk membuka peluang di partai lain apabila ditolak salah satu partai yang ditujunya.
"Dia mendaftar partai lain itukan menggunakan logika, kalau saya ditolak partai A saya bisa mendapatkan partai B. Kalau saya mendapatkan partai B, tetapi persyaratannya masih belum cukup, saya membutuhkan partai C. Jadi betul-betul ini hanya masalah matematika politik," kata Yunarto, kepada Kompas.com, Senin (25/4/2016).
Namun, Yunarto menyatakan, sistem seperti ini yang justru membuatnya khawatir.
Sebab, menurut dia, demi mengejar persyaratan pilkada, para calon menjadi pragmatis.
Mereka menganggap partai politik sebagai kendaraan untuk mencapai tujuan semata tanpa memperhatikan kesesuaian ideologi partai tersebut dengan visi dan misinya.
Contohnya, adalah ketika seorang politisi dari partai berbasis agama mengikuti Pilkada.
Karena kursi di partainya tidak memenuhi syarat, maka politisi itu mendaftarkan diri ke partai lain yang berbasis nasionalis.
"Sehingga ini yang menyebabkan seperti anak bebas saja. Tidak peduli apa ideologinya, tidak peduli apa visi misinya, tidak ada ikatan kesamaan program ataupun kesamaan pandangan politiknya. Itu yang menyedihkan menurut saya dan ini ironi dalam demokrasi pilkada kita," ujar Yunarto.
Selain itu, kerja sama calon dan partai akhirnya hanya bersifat jangka pendek sampai pada syaratnya terpenuhi saja.
Padahal, menurut dia, kerjasama dengan partai pengusung tetap diperlukan calon meskipun telah terpilih nanti.
Jika tidak adanya kesamaan visi dan misi antara calon dengan partai, ia khawati hal tersebut akan menimbulkan perpecahan hubungan nantinya. 
"Karena, di dalam proses pencalonan tidak ada proses selektif ketat yang berhasil menyamakan persepsi antara calon dan partai," ujarnya.
Ya, kalau prosesnya sudah pragmatis bagaimana mungkin kita bisa berharap pada kerja sama jangka panjang yang bersifat idealis," kata Yunarto.

No comments:

Post a Comment