Wednesday, December 16, 2015

"KJP Bu, KJP-nya... Ayo KJP-nya Dicairin"

Penyalahgunaan dana bantuan pendidikan melalui program Kartu Jakarta Pintar kembali terjadi. 

Kali ini dana dicairkan di luar gerai yang diizinkan oleh makelar yang meminta imbal jasa. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengancam melaporkannya ke polisi.
Kamis pekan lalu, Yusri Isnaini (32), orangtua siswa penerima dana Kartu Jakarta Pintar (KJP) warga Lagoa, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, melaporkan praktik itu ke Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. 

Menurut dia, ada sejumlah orang di Pasar Koja yang menawarkan jasa pencairan melalui mesin pembayaran elektronik (electronic data capture/EDC) dengan meminta imbalan.
Laporan itu benar adanya. Pada Senin (14/12) siang, dua orang berdiri di dekat tangga lantai satu, di bagian tengah Pasar Koja. Salah seorang dari mereka menggunakan topi dan kaus berwarna kuning dan hijau. 

Kaus ini juga dipakai sejumlah orang yang terlihat membersihkan pasar. Di dekat mereka, dua petugas pengamanan pasar berjaga.
Saat pengunjung yang sebagian besar ibu-ibu melintas, mereka langsung beraksi. "KJP Bu, KJP-nya. Ayo KJP-nya dicairin," ujar salah seorang dari mereka. 

Hal itu mereka lakukan terutama saat melihat ada pengunjung yang membawa anak-anak.
Salah satu laporan yang masuk ke DKI menyebutkan, modus pencairan KJP seperti itu dilakukan beberapa orang. 

Mereka menawarkan jasa pencairan dengan meminta imbalan 10 persen dari total dana yang dicairkan pemegang kartu. Dengan EDC sendiri atau milik salah satu toko, mereka mendebit dana KJP, lalu menyerahkan uang tunai.
Yusri menyatakan, mesin pembayaran milik toko seragam sering kali terganggu sehingga transaksi gagal. 

Dalam situasi itu, dia memilih memanfaatkan jasa orang lain untuk mencairkan dana, lalu membelanjakannya di toko perlengkapan sekolah.
"Waktu itu saya ingin beli seragam buat anak. Saat datang ke Toko Harapan di Pasar Koja, mesinnya selalu rusak, sampai empat kali saya datang. Pas keempat kali, saya sudah sebel, eh ada yang menawarkan ambil tunai, ya saya ikutin," ucap ibu dua anak ini.
Dari Rp 330.000 dana yang didebit dari rekening KJP anaknya, Yusri hanya menerima Rp 300.000. "Dia (makelar) minta Rp 30.000," ujarnya.
Menurut Didin, penjaga Toko Harapan, mesin EDC di tokonya memang beberapa kali mengalami gangguan. 

"Minggu lalu kami panggil teknisi untuk perbaikan. Kami tidak pernah mengambil atau meminta potongan dari pemilik KJP," ucapnya.
Lapor polisi
Penarikan tunai di luar toko yang diizinkan dinilai menjadi modus penyimpangan dana KJP. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama di Balai Kota Jakarta mengancam melaporkan penerima bantuan dan atau pemilik EDC yang berkonspirasi menyelewengkan dana KJP.
Sejak tahun ini, dana bantuan tidak bisa ditarik tunai dan hanya bisa digunakan untuk membeli perlengkapan serta membayar kebutuhan pendidikan. 

Menurut Basuki, ada sejumlah laporan dengan modus mencairkan dana di luar peruntukan. 

"Jadi ada toko-toko yang jualan duit yang tentu lebih menguntungkan dibanding jualan barang. Jualan barang belum tentu dapat 10 persen, jualan duit dapat 10 persen. Nah, ini kejahatan. Kami akan lapor," ujarnya.
Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Arie Budiman menambahkan, laporan mesin EDC offline kadang dipakai untuk menutupi modus pencairan tunai KJP. Alasan offline lalu menarik tunai di toko lain yang tidak sesuai tidak dibenarkan dan melanggar aturan.
Pada Agustus 2015, Bank DKI melaporkan dugaan penyimpangan dana KJP. Sejumlah penerima KJP diketahui menggunakan kartu untuk transaksi belanja keperluan nonpendidikan, seperti karaoke, membeli emas, barang elektronik, dan bahan bakar minyak. Namun, selain kesengajaan pemegang KJP, praktik itu dilakukan karena sosialisasi kurang.
Terhitung mulai tahun ini, Pemprov DKI membatasi pencairan tunai dana KJP untuk mencegah penyalahgunaan. Kebijakan ini ditempuh setelah ditemukan pemakaian di luar keperluan pendidikan, seperti untuk belanja keperluan keluarga, pada tahun lalu.
Transfer oleh Bank DKI pun ditempuh secara bertahap untuk mengurangi risiko penyelewengan. Pencairan dana untuk kebutuhan rutin seperti transportasi dan ekstrakurikuler dibatasi maksimal Rp 100.000 per bulan untuk tingkat SD, Rp 150.000 per bulan untuk tingkat SMP, dan Rp 200.000 per bulan untuk tingkat SMA. 

No comments:

Post a Comment