JAKARTA, KOMPAS.com — Korban dan keluarga korban kerusuhan 1998 bersama Gerakan Masyarakat Lupa melaporkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). KPU dilaporkan dengan sangkaan melakukan pelanggaran mala-administrasi saat meloloskan mantan Danjen Kopassus Prabowo Subianto sebagai calon presiden peserta Pemilu Presiden 2014.
"Kami harap Bawaslu dapat menindaklanjuti laporan kami, karena Bawaslu memiliki wewenang menindak terhadap pelanggaran pemilu. Bawaslu harus memeriksa komisioner KPU," ujar anggota Gerakan Melawan Lupa dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Hariz Azhar, di Gedung Bawaslu, Jakarta Pusat, Senin (23/6/2014).
Ia mengatakan, sebelum penetapan capres oleh KPU, pihaknya telah menyampaikan kepada KPU bahwa Prabowo masih terbelit kasus dugaan pelanggaran HAM. Namun, menurut dia, KPU tidak mengindahkan masukan pihaknya.
Padahal, ujar Haris, dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, KPU harus memperhatikan masukan masyarakat. Hal lain, ujarnya, KPU mengabaikan dokumen-dokumen hukum yang memuat perbuatan tercela dan pelanggaran pidana yang dilakukan Prabowo.
Haris menyinggung keputusan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) ABRI pada 1998 yang menyatakan Prabowo terlibat dalam penculikan para aktivis. (baca: Pengamat: Publik Mesti Tahu Mengapa Prabowo Diberhentikan dari ABRI). Ada pula keputusan presiden yang memuat pemberhentian Prabowo.
Ibu korban kerusuhan 1998, Ruyati Darwin, menyatakan kekecewaannya terhadap KPU karena meloloskan Prabowo menjadi capres.
"Padahal sudah banyak kasus yang melibatkan dia, Aceh, Papua. Akibat ulahnya, anak-anak kami jadi korban," kata Ruyati.
No comments:
Post a Comment