JAKARTA, KOMPAS.com - Tepat dua tahun lalu, 15 Oktober 2012, Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama, dilantik menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Mereka hadir membawa euforia baju kotak-kotak, yang sekaligus membawa harapan tentang Jakarta Baru.
Dua tahun berlalu tanpa terasa. Saat ini, status Jokowi pun sudah tak lagi sepenuhnya Gubernur DKI. Dia telah menyatakan mengundurkan diri dari posisinya itu pada Kamis (2/10/2014), dalam sidang paripurna DPRD DKI, karena menjadi presiden terpilih hasil Pemilu Presiden 2014. Pengunduran dirinya pun diterima DPRD pada Senin (6/10/2014).
Berlalu sudah dua tahun. Macet Jakarta masih ada. Banjir pun tetap datang biarpun hujan turun tak lama. Penataan Waduk Pluit belum sepenuhnya tuntas. Pasar Tanah Abang masih pula punya banyak persoalan. Revitalisasi pasar bahkan belum tampak jejaknya.
Banyak kritik dan kecaman lain bisa disebut seharian ini. Pertanyaan besarnya, masihkah harapan tentang sebuah Jakarta Baru ada? Membekaskah pesan perubahan dalam simbol kesetaraan dan keproletaran baju kotak-kotak?
"Saya rasa harapan itu masih ada. Pesan itu pun sampai," kata Guru Besar Filsafat Universitas Parahyangan, Bambang Sugiharto, Rabu (15/10/2014). Dengan segala dinamika politik yang menegangkan selama satu tahun terakhir, imbuh dia, masyarakat justru terdorong untuk melihat substansi persoalan dan kualitas figur pemimpin.
"Seiring dinamika politik dengan tensi tinggi ini, substansi baru yang dibawa Jokowi-Ahok (panggilan Joko Widodo dan Basuki) justru semakin disadari orang," papar Bambang. Menurut dia, simbol baju kotak-kotak yang dibawa pasangan Jokowi-Basuki pun bersambung dengan jargon revolusi mental yang dibawa Jokowi ke kancah politik nasional.
Berangkat dari kotak-kotak
"Baju kotak-kotak" adalah pembuka gerakan baru untuk mewujudkan Jakarta Baru. (Baca: Arti Kemeja Kotak-kotak Jokowi). Ada simbol soal kesetaraan, kerja keras, dan penguasa yang tak lagi berjarak dengan rakyat.
Pakar tata kota dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, mengakui banyak program yang terasa lambat bergerak. Namun, kata dia, mengubah Jakarta memang tak bisa selesai dalam satu dua tahun maupun tergantung seorang pemimpin saja.
Menurut Yayat, Jokowi dan Basuki pada dasarnya ingin membangun sebuah nilai-nilai baru, dari kultur hingga struktur. Wujudnya, sebut dia, berupa terobosan kebijakan, penataan kelembagaan, perubahan manajemen, dan sebagainya. "Ini semua soal nilai," kata dia, Rabu.
Yayat berpendapat, Jokowi dan Basuki datang dengan mengusung konsep pembangunan yang mengedepankan layanan pembangunan manusia. Namun, perubahan itu harus berhadapan frontal dengan birokrasi kaku, pola lama, dan sistem yang enggan mengikuti nilai baru.
"Ini masa transisi menuju tata kelola baru tetapi ada resistensi, ada yang tak terima, ada juga yang terganggu zona nyamannya," sebut Yayat. Perubahan yang dibawa Jokowi dan Basuki ke DKI, kata dia, berhadapan dengan sistem manajemen tata kelola kota yang lamban menangkap esensi yang diharapkan.
"Birokrasi pemerintahan takut dengan terobosan, ada konflik nilai lama dan baru dalam upaya perbaikan sistem itu," ujar Yayat. Kondisi ini yang kemudian memunculkan kesan pemimpin harus marah-marah dulu untuk sebuah program bisa terlaksana cepat. Itu pun, kata dia, ada saja pelaksana program yang ternyata tak sesuai harapan, seperti dalam proyek monorel.
Tak cukup mengandalkan Jokowi-Basuki
Pada saat bersamaan, lanjut Yayan, persoalan di DKI tak sepenuhnya berasal dari masalah di dalam wilayah Ibu Kota. "Ada kesalahan pengelolaan daerah yang berdampak juga ke Jakarta, termasuk kegagalan pembangunan di daerah," sebut dia.
Karenanya, tegas Yayat, pembenahan DKI pun butuh sinergi baik dengan Pemerintah Pusat maupun daerah penyangga, seiring pembangunan di daerah. "Kalau kehidupan masyarakat harus diakui sudah ada perubahan. Orang menjadi lebih terbuka, misalnya. Sekarang mengadu ke gubernur pun bisa dilakukan," kata dia.
Desakralisasi kekuasaan, menurut Yayat sudah terjadi selama dua tahun pemerintahan Jokowi-Basuki. "Sekarang kekuasaan itu bukan lagi wilayah tak tersentuh rakyat biasa," sebut dia. Kedekatan pemimpin dengan rakyatnya, imbuh Yayat, akan menggeser pola pembangunan ke arah penguatan kualitas pelayanan.
Hanya mereka yang terganggu zona nyamannya, tuding Yayat, yang bersikap serba negatif di tengah aura harapan dan gerak maju perubahan-selambat apapun yang terlihat. "Tak semua orang menyukai perubahan nilai, termasuk berubahnya pendekatan pembangunan ini."
Membangun fisik Jakarta, tegas Yayat, bisa dilakukan siapa pun. Namun, ujar dia, pembangunan tanpa perubahan nilai akan percuma pada akhirnya. "Harapan itu masih ada. Ada pergerakan maju sekalipun terkesan lamban. Namun harus disertai perubahan nilai dari warga juga," tegas dia.
Yayat pun menegaskan ulang, membangun Jakarta tak bisa hanya tergantung kepada dua orang bernama Jokowi dan Basuki. "Semua orang harus bersama-sama berubah. Pembangunan harus berjalan dengan benar, dalam hakikat membangun pula perilaku manusia, membangun komunitas Jakarta Baru."
Maka, bila perubahan memang benar-benar menjadi keinginan warga Jakarta, barangkali kutipan populer milik Paulo Coelho layak dikumandangkan ulang. Dalam "The Alchemist", Coelho menulis frasa yang terjemahan bebasnya kira-kira, "Bila kau memang benar-benar menginginkan sesuatu maka alam semesta akan membantu." Namun, novel itu pun jelas bertutur bahwa perjalanan tetap harus ditempuh dengan upaya terbaik dan selalu menjaga harapan baik. Tabik.
(ANN)
No comments:
Post a Comment