Thursday, June 26, 2014

Bebaskan Jakarta dari "Tikus-tikus Kantor"

JAKARTA, KOMPAS.com - Cerita tentang birokrasi di Jakarta bisa panjang lebar. Selain berbiaya tinggi, layanan birokrasi tidak ada standar waktu. Hal ini terjadi karena sistem layanan yang tidak cepat dan efisien.

Bahkan, untuk mengurus program kerjanya sendiri, pejabat tidak bisa bekerja cepat. Akibatnya, banyak program pembangunan yang batal direalisasikan tahun ini. Hal ini karena kuasa pengguna anggaran lamban mendaftarkan dokumen lelang pengadaan barang dan jasa.

Semua persoalan di atas terjadi karena birokrasi di Jakarta belum transparan serta pengangkatan dan penempatan orang tidak didasari pada kompetensi dan kebutuhan.

Iwan Fals mengibaratkan perilaku birokrat yang malas dan suka mencuri waktu serta uang negara itu sebagai tikus-tikus kantor. Merekahlah yang harus dibersihkan agar layanan publik menjadi prima.

Berangkat dari persoalan di atas, 20 bulan terakhir Pemprov DKI melakukan reformasi birokrasi. Tahun pertama, Pemprov DKI melelang jabatan 267 lurah dan 44 camat. Berikutnya, Pemprov DKI melelang jabatan kepala sekolah 240 SMA sederajat dan 44 kepala puskesmas. Setelah dua model itu dilakukan, akan diteruskan dengan melelang posisi pejabat eselon II.

Tidak cukup dengan itu, Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama merencanakan penunjukan rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW). Terkait penunjukan RT dan RW, hal ini dipandang perlu karena ujung persoalan layanan publik kadang terhambat di tingkat itu. 

Basuki mencontohkan, di sejumlah wilayah RT dan RW ikut menerima setoran dari pihak-pihak yang secara ilegal menggunakan area terlarang untuk kegiatan komersial. ”Maka, tidak heran posisi ini banyak yang menginginkannya,” katanya.

Ujung tombak

DKI terus berbenah, layanan perizinan belum terpadu. Saat ini, Pemprov DKI sedang menyeleksi pejabat yang akan bertugas di Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Paling tidak ada sekitar 1.200 pegawai yang direkrut memperkuat lembaga ini. Selanjutnya, mereka bertugas di kelurahan dan kecamatan yang akan dijadikan sebagai pusat layanan.

”Layanan publik akan terpusat di tingkat kelurahan dan kecamatan. Posisi dinas mendukung kinerja mereka dibantu dengan PTSP. Dengan cara ini, warga tidak perlu mondar-mandir mengurus perizinan, tetapi kami yang akan sibuk melayani,” kata Basuki.

Menurut pengamat politik Universitas Indonesia, Boni Hargens, pembenahan yang terjadi di DKI saat ini membongkar kebiasaan lama. Sebelumnya, birokrasi selalu identik dengan penempatan orang-orang berdasarkan koneksi yang tidak jelas.

”Ini yang jadi akar rusaknya birokrasi. Ini pula yang coba dibongkar dengan adanya lelang jabatan sampai pelayanan terpadu satu pintu,” kata Boni.

Kebijakan Jokowi-Basuki dengan memindahkan orang di internal birokrasinya telah memberi terapi kejut yang membuat birokratnya tidak tenang. 

Boni melihat, banyak birokrat dipindahkan dari posisi sebelumnya yang mungkin dikategorikan ”basah” ke tempat ”kering” sehingga tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Praktik suap, korupsi, kolusi, nepotisme ditargetkan direduksi dari cara ini.

Soal pelayanan satu pintu itu penting karena efisiensi tinggi dan lebih transparan.

Pekerjaan rumah

Boni melihat yang belum banyak dilakukan di Jakarta adalah penertiban terkait pajak, termasuk retribusi dan aturan terkait masalah ini. Basuki ingin ada tata kelola pajak lebih baik sehingga ada titik temu antara kepentingan pengusaha dan kepentingan publik.

Di sisi lain, Boni mengingatkan bahwa pengelolaan Jakarta selalu akan berurusan dengan kebijakan pemerintah pusat. Hal ini akan menyebabkan selalu muncul masalah, seperti ketika ada aturan yang saling tidak sinkron, respons pusat dianggap lambat, dan tentu saja suasana politik akan selalu memengaruhi kebijakan dan hubungan pusat-DKI.

Perlu ketegasan, kepandaian, dan kecerdikan pemimpin di DKI untuk bisa memisahkan permainan politik di pemerintahan sendiri, terlebih jika itu diduga terkait dengan kepentingan politik yang lebih besar. (NELI TRIANA/ANDY RIZA HIDAYAT)

No comments:

Post a Comment