Tuesday, October 4, 2016

Mengapa Gayus Baru Sekarang Serukan Pencopotan Hakim Agung Cacat Syarat?

Hakim agung Gayus Lumbuun meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencopot para hakim agung yang cacat syarat. Seruan itu sudah ingin diutarakan jauh-jauh hari, tetapi sistem di Mahkamah Agung (MA) membuatnya tidak berkutik.

"Selama ini saya dibungkam. Sudah ingin saya sampaikan ke pimpinan MA jauh-jauh hari, tetapi tidak diberi kesempatan. Termasuk enam bulan lalu saat akan dilakukan pemilihan Wakil Ketua MA, pemilihan dilakukan tanpa sosialisasi dan tata tertib melarang semua hakim agung berpendapat," kata Gayus saat berbincang dengan detikcom, Selasa (4/10/2016).

Hal itu berbeda dengan era kepemimpinan Ketua MA Harifin Tumpa (2009-2012). Kala itu, rapat pleno hakim agung digelar sebulan sekali untuk mendengarkan masukan dari seluruh hakim agung.

"Yang sekarang, sudah enam bulan belum pernah ada rapat pleno lagi," ujar guru besar Universitas Krisnadwipayana itu.

Berdasarkan UU yang ada, syarat menjadi hakim agung jalur karier adalah pernah menjadi hakim tinggi minimal 3 tahun. Hal itu tertuang dalam Pasal 7 angka 6 UU Nomor 3 tahun 2009 tentang Perubahan UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. 

Tapi pada kenyataannya, banyak hakim agung yang belum pernah mengadili di tingkat banding tapi lolos jadi hakim agung.

"Bagaimana bisa mengadili di tingkat kasasi, kalau ia sendiri tidak pernah mengadili di tingkat banding? Mau dibawa ke mana negara ini?" cetus mantan anggota DPR itu.
Dengan rumitnya masalah di atas, Gayus meminta Jokowi sebagai Kepala Negara untuk mengambil langkah tegas mencopot para hakim agung yang cacat syarat itu karena nyata-nyata melanggar UU. 

"Itu tidak melanggar asas trias politika," ungkap Gayus yang telah mengoleksi 13 hukuman mati itu.

Berdasarkan aturan yang ada, Komisi Yudisial (KY) dalam menyeleksi hakim agung atas rekomendasi MA, di mana MA menyatakan calon hakim agung tersebut sudah menjadi hakim tinggi selama 3 tahun. Adapun DPR memillih berdasarkan uji kelayakan dan kepatutan, tidak menyeleksi administrasi.

Sedangkan Presiden sebagai Kepala Negara mengeluarkan Surat Keputusan (SK) pengangkatan selalu mencantumkan klausul penutup yaitu SK akan dikoreksi sepanjang ditemukan hal-hal yang melanggar hukum di kemudian hari.

"Jadi sudah tepat bila nantinya dalam Program Reformasi Hukum, Presiden mengambil kebijakan untuk mengevaluasi para hakim agung itu," tegas hakim agung yang berasal dari unsur masyarakat itu. 

No comments:

Post a Comment