Wednesday, January 6, 2016

Tajir berkat uang parkir

 Sudah empat tahun terakhir Gayung bekerja di atas lahan seluas 15 meter persegi yang berada persis di samping ITC Cempaka Mas, Jakarta Pusat. Pekerjaannya tidak menuntut kerja keras, namun jutaan rupiah selalu mengalir ke kantongnya setiap hari. Uang tersebut sebagai bayaran atas jasanya menjaga sepeda motor yang diparkir di lahan yang dikelola salah satu organisasi masyarakat (ormas) kedaerahan.
Semula, di samping pusat perbelanjaan itu terhampar lahan seluas 50 meter persegi. Sekitar 2012, Gayung dan beberapa rekannya membabat pohon-pohon yang berdiri di atas lahan itu, untuk kemudian dimanfaatkan sebagai lahan parkir. Lahan yang berada tepat dipinggir kali item perbatasan Jakarta Pusat dan Jakarta Utara sesungguhnya berstatus lahan pengairan.
"Kan dulu itu rawa yang kagak kepake. Banyak pohonnya, terus ditebang, kita manfaatin itu tempat buat lahan parkir. Lagian dulu itu kan parkiran di dalam (ITC) enggak cukup, membludak ke luar bikin macet" cerita Gayung saat berbincang dengan merdeka.com, Selasa (5/1).
Setelah disulap menjadi tanah lapang, dimulailah bisnis parkir sepeda motor liar yang dikelola di bawah bendera ormas tersebut. Gayung dan 12 anak buahnya diberi wewenang mengelola sekitar 1/3 dari luas lahan itu. Di lahan seluas itu, minimal ada 1000 sepeda motor terpakir setiap hari. Otomatis, uang parkir yang terkumpul cukup fantastis. Setiap harinya dia bisa mengantongi Rp 1,2 juta.
Uang tersebut tidak dinikmati sendiri melainkan dibagi-bagi kepada anak buahnya yang berjaga. Setiap hari ada enam anak buahnya yang menjaga parkiran tersebut. Masing-masing mengantongi Rp 150.000. Itu tidak termasuk uang makan, rokok dan kopi. Dalam sehari, setiap orangnya diberi jatah makan 2 kali, satu bungkus rokok dan kopi. Gayung juga harus menyisihkan setidaknya Rp 300.000 dari hasil parkiran untuk mengisi uang ormas tempatnya bernaung. Sisanya menjadi miliknya.
Dia sadar betul, bisnis yang dijalaninya adalah bisnis kepercayaan. Sepeda motor yang terparkir di lahannya harus dijaga betul, jangan sampai ada kehilangan. Kalaupun ada kehilangan, dia tidak bisa lari dari tanggung jawab.
"Pernah ada yang kehilangan helm. Terus ya mau enggak mau kita ganti. Tapi kita ganti sama helm yang agak jelek sama dikasih uang setengah harga helm. Misalnya harga helm Rp 200.000, nah kita kasih uangnya Rp 100.000. Eh besoknya dia balik lagi markir di sini," katanya.
Dia tidak menampik, kehidupannya menjadi lebih baik setelah mengelola parkir liar. Tidak hanya itu, dia merasa senang karena bisa memberikan lapangan pekerjaan bagi rekan-rekannya yang selama ini menganggur. Terlebih kepada anak-anak putus sekolah yang sulit mendapatkan pekerjaan karena tidak memiliki ijazah.
Pengelola pusat perbelanjaan sempat protes pada Gayung lantaran dianggap menjalankan bisnis parkir liar. Dia dan anak buahnya bergeming dan tidak membuatnya mundur dari pekerjaan yang dilakoninya. Dia berdalih tak pernah melanggar aturan. Sebab tidak ada rambu larangan parkir kendaraan di sepanjang lahan yang dikelolanya. "Di sini kan enggak ada tulisan dilarang parkir. Nah kalau ada terus kita tetap markir itu baru menyalahi aturan. Boleh deh tuh dirazia."
Selama empat tahun menggeluti bisnis parkir liar, hanya sekali saja Dinas Perhubungan melakukan razia. Gayung dan anak buahnya cuek, keesokan harinya mereka tetap bekerja seperti biasa seolah tak pernah ada peringatan dari pemerintah daerah. Dia justru curiga razia tersebut pesanan pihak pengelola pusat perbelanjaan yang tidak suka keberadaan parkir liar.
Gayung menyadari tidak selamanya menyandarkan hidup dari bisnis parkir liar. Pekerjaannya tidak berumur lama. Pembangunan jalan di sepanjang kali item yang hampir rampung memberi sinyal bisnis parkir liar yang dikelolanya tinggal berumur paling lama dua tahun. Diperkirakan, proyek jalan selesai dan mulai digunakan 2018. Otomatis, bisnis yang digelutinya sejak 2012 harus berhenti.
"Kalau sudah dipakai buat jalan, kita mundur. Anak-anak juga sudah ngerti kalau itu," ucapnya.

No comments:

Post a Comment