Sunday, January 24, 2016

Negeri 5 Menara, kisah santri Gontor yang sukses di layar lebar

 Tahun 2012 silam kalimat 'Man Jadda Wajada' begitu familiar di masyarakat. Kalimat yang memiliki arti 'siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil' itu melambung menyusul film yang diadaptasi dari novel berjudul Negeri 5 Menara dan menjadi tontonan layar lebar menarik saat itu.

Novel itu masuk dalam jajaran karya fiksi terbaik pada tahun 2009. Serta beberapa kali masuk dalam nominasi Khatulistiwa Literary Award. Bahkan salah satu penerbit di Negeri Jiran Malaysia, yaitu PTS Litera tertarik untuk menerbitkan di negaranya dalam versi Bahasa yang berbeda, yaitu Bahasa melayu.

Lantaran dianggap menarik, akhirnya tiga tahun kemudian trilogi yang diadaptasi dari novel karya Ahmad Fuadi itu diangkat ke layar lebar. Novel yang bercerita tentang kehidupan enam remaja yang berasal dari daerah berbeda menimba ilmu di Pondok Madani Ponorogo, Jawa Timur, itu menceritakan enam remaja lagi menempuh pendidikan di pesantren yang memiliki 17 cabang di tanah air tersebut.

Sekuel ini bercerita mengenai seorang remaja yang bernama Alif asal Sumatera Barat. Pendidikan pesantren yang dilakoni Alif sebetulnya berlawanan dengan keinginannya yang mau menempuh sekolah pendidikan umum lantaran mengidolakan BJ Habibie. Alif pun mesti memupus keinginannya karena kemauan orangtuanya yang ingin anaknya itu seperti Buya Hamka hingga menyekolahkannya ke pondok pesantren modern Gontor.

Kehidupan Alif di pondok berubah ketika bertemu dengan lima kawannya. Mereka dipersatukan lewat hukuman akibat kenakalannya masing-masing. Hingga akhirnya Alif berteman dekat dengan Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung dan Baso dari Gowa. 

Kedekatan mereka semakin lekat acap kali bersama-sama kerap menunggu maghrib sambil menatap awan lembayung yang berarak pulang ke ufuk di bawah menara masjid yang menjulang. Di mata belia mereka, awan-awan itu menjelma menjadi negara dan benua impian masing-masing.

Acap kali berkumpul di bawah menara masjid itu mereka kerap mengucapkan kalimat 'Man Jadda Wajada'. Kelimat itu mereka dapat setelah di hari pertamanya masuk kelas Pondok Madani atau setara sekolah menengah pertama. Hingga akhirnya kalimat itu dijadikan 'mantra' bagi keenamnya untuk meraih cita-citanya.

Singkat cerita setelah lulus dan dipertemukan dalam acara reuni. Keenamnya sudah berhasil mewujudkan mimpi pribadinya menggapai jendela dunia. Keberhasilannya itu tercapai karena mereka selalu menggelorakan mantra 'Man Jadda Wajada'.

Film garapan sutradara Affandi Abdul Rachman itu pun berhasil mencuri hati penikmat film Indonesia. Bahkan, istri almarhumah Abdurahman Wahid atau Gus Dur, Sintia Nuriyah Wahid mengapresiasi film yang mengambil setting di Gontor tersebut.

"Pesantren nggak pernah nolak untuk belajar, berapa pun usia. Karena kita berpegangan pada Hadist Nabi, cari ilmu sejak lahir sampai liang Lahat. Sebab di pesantren kami nggak ada pembatasan," kata Sintia saat itu.

Lewat film ini membuktikan jebolan pesantren bukan cuma bisa menulis dan membaca Al-quran, namun juga menulis sebuah cerita seperti yang dilakukan Ahmad Fuadi. Semoga mantra 'Man Jadda Wajada' bisa menular dalam kehidupan kita semua.

No comments:

Post a Comment