Tuesday, September 29, 2015

Putusan MK soal Calon Tunggal Dinilai Buka Masalah Baru

Pakar hukum tata negara Universitas Gajah Mada Zainal Arifin Mochtar menilai putusan Mahkamah Konstitsuisi yang menetapkan norma baru dalam mekanisme pemilihan kepala daerah dengan satu pasangan calon (calon tunggal) menyisakan masalah baru. Menurut Zainal, putusan MK yang mengatur bahwa pemilihan calon tunggal dilakukan menggunakan kolom "setuju" dan "tidak setuju" tersebut menyisakan pekerjaan rumah terkait mekanisme pelaksanaannya.
"Itu yang saya bilang tadi, mekanisme, cara, kapan pelaksanaannya. Itu bisa untungkan orang yang mau memerintah sementara. Bisa saja ditunda lama referendumnya, banyak deh, banyak problem, karena MK tidak bangun detail soal referendumnya. Kalau begitu, itu menutup masalah dan buka masalah baru. Tutup satu problem dan buka problem lain," kata Zainal di Kampus Universitas Indonesia, Jakarta, Selasa (29/8/2015).
Kendati demikian, Zainal mengaku belum membaca detail putusan MK yang dibacakan siang tadi. Ia menilai mekanisme pemilihan dengan kolom setuju atau tidak setuju seperti yang ditetapkan MK tersebut memerlukan pembahasan lebih jauh karena mekanisme pemilihan semacam itu tidak diatur detil dalam undang-undang. 

Apalagi jika dalam putusannya MK tidak mengatur detil mekanisme pemilihan tersebut. Zainal juga menilai metode bumbung kosong lebih sederhana dibandingkan dengan mekanisme semacam referendum tersebut.
"Saya sih harap MK tidak lakukan terobosan dengan referendum, misal lawan kotak kosong. Bisa dibuat mekanismenya tapi MK sudah katakan itu, referendum, kelihatan populis tapi masalah besar itu soal mekanisme," kata dia.
Mahkamah Konstitusi sebelumnya menetapkan norma baru dalam mekanisme pemilihan kepala daerah dengan satu pasangan calon (calon tunggal). MK mengatur bahwa pemilihan calon tunggal dilakukan menggunakan kolom "setuju" dan "tidak setuju".
Sebelumnya, pemohon dalam uji materi ini, yaitu pakar komunikasi politik Effendi Gazali, meminta agar MK memberikan mekanisme baru dalam pemilihan kepala daerah bagi calon tunggal. Ia meminta agar dalam putusannya, MK mengatur bahwa pemilihan calon tunggal menggunakan kotak kosong dalam surat suara.
Sementara itu, majelis hakim MK tidak sependapat dengan mekanisme bumbung kosong yang diajukan pemohon. "Sebab pemilihan satu paslon seharusnya upaya terakhir setelah pencalonan dilakukan dengan sungguh-sungguh," ujar hakim Suhartoyo, dalam sidang putusan, di Gedung MK, Jakarta siang tadi.

Suhartoyo mengatakan, pemilihan melalui kolom "setuju" dan "tidak setuju" bertujuan memberikan hak masyarakat untuk memilih calon kepala daerahnya sendiri. Sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam demokrasi, masyarakat diberikan hak untuk mengikuti pemilihan, termasuk untuk memilih menunda pemilihan.
Menurut Suhartoyo, apabila yang memilih kolom "setuju" lebih banyak, maka calon tunggal itu ditetapkan sebagai kepala daerah. Tetapi, jika lebih banyak yang memilih "tidak setuju", maka pelaksanaan pilkada di daerah tersebut akan ditunda hingga pilkada pada periode selanjutnya.
Effendi Gazali dan Yayan Sakti Suryandaru mengajukan uji materi Pasal 49 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 50 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2), Pasal 54 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
Pada intinya, para pemohon merasa hak konstitusional pemilih dirugikan apabila pemilihan kepala daerah serentak di suatu daerah mengalami penundaan hingga 2017. Pasalnya, UU Pilkada mengatur bahwa syarat minimal pelaksanaan pilkada harus diikuti oleh dua pasangan calon kepala daerah.
Saat ini, ada tiga daerah yang memiliki calon kepala daerah tidak lebih dari satu pasangan. Daerah itu adalah Kabupaten Blitar, Kabupaten Tasikmalaya, dan Kabupaten Timor Tengah Utara di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

No comments:

Post a Comment