Friday, October 10, 2014

Mendatangkan Solo dan Jogja di Jakarta

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTOSulistri memilih tengkleng untuk pelanggan yang mengantre di sekelilingnya di bawah gapura Pasar Klewer, Kota Solo, Rabu (10/4). Biasanya, empat panci penuh aneka jeroan-40 kepala kambing, beratus kaki kambing, otak, mata, pipi kambing-berbumbu opor tanpa santan habis diserbu pembeli dalam waktu 1 jam.

JAKARTA, KOMPAS.com -  Pasar Klewer pindah ke Jakarta. Memang tidak serupa dengan nuansa pasar tradisional tersebut pada daerah asalnya di Kota Solo, Jawa Tengah.

Akan tetapi, secuplik suasana dan kemeriahan di dalamnya tersaji hingga 2 November mendatang di Jakarta. Adalah ajang bertajuk ”Pasar Klewer Solo Pindah ke Jakarta” di Pusat Belanja Pasaraya, Jakarta, yang mengejawantahkannya.

Dibuka secara resmi oleh presiden terpilih RI Joko Widodo bersama wakil presiden terpilih Jusuf Kalla, Kamis (2/10), kegiatan tersebut telah dimulai sejak 27 September lalu. Ini termasuk dalam perhelatan Pasaraya Tribute to Batik Indonesia yang menjadi bagian dari peringatan Hari Batik Nasional pada 2 Oktober lalu.

Beragam jenis makanan, yang sebagian penjajanya datang langsung dari tempat asal, dan berjenis-jenis batik memenuhi lower ground pusat belanja Pasaraya di bilangan Blok M, Jakarta Selatan. Sejumlah pengunjung mengaduk-aduk tumpukan batik dan menimang-nimangnya sebelum memutuskan membeli.

Itu seperti dilakukan oleh dua pengunjung, Nungki Hadi dan Tri Widodo. ”Cukup memenuhi rasa kangen terhadap Pasar Klewer,” kata Nungki.

Suasana yang relatif nyaman, di antaranya berkat sejumlah mesin penyejuk ruangan, menjadi nilai lebih yang mereka rasakan. Suasana yang mungkin tidak diperoleh Nungki dan Tri di tempat aslinya.

Perbedaan pengunjung

Namun, tentu saja, interaksi khas ala Pasar Klewer tidak bisa mereka dapatkan secara otentik dalam ajang tersebut. Perbedaan tingkat sosial ekonomi para pengunjung menjadi salah satu sebabnya.

”Kalau di sini (Jakarta) yang datang relatif berasal dari kalangan menengah atas, sedangkan Pasar Klewer di Solo cenderung berasal dari kelompok menengah bawah,” sebut Nungki.

Selain itu, keragaman produk pangan dan sandang yang ditawarkan berbeda dengan di tempat asalnya. Tentu saja, harga yang ditawarkan juga relatif berbeda.

”Tapi, kami belum tahu bagaimana perbedaan harganya,” ujar Nungki. Maka, siang itu, ia bersama Tri dengan tekun mengaduk-aduk tumpukan batik dan berkeliling ke sejumlah gerai guna mengetahui perbedaan harga dan kualitas.

Sementara di pojok lain, Mulyanto (32) beserta beberapa rekannya tengah menjajakan sejumlah penganan. Bakpia pathok dan burung dara goreng adalah beberapa di antara penganan yang ditawarkan.

Seekor burung dara goreng ditawarkan Rp 45.000. Hari itu, mereka mendatangkan sekitar 200 ekor burung dara goreng. Beberapa jam kemudian, tinggal 10 ekor lagi yang masih menunggu pembeli.

Daerah asal

Sebagian penganan itu didatangkan dari daerah asalnya. Sebagian lagi, termasuk sejumlah pekerja atau karyawan yang menunggui gerainya, telah lebih dahulu berdomisili di Jakarta.

”Biasanya tahan sekitar dua hari,” kata Mulyanto soal burung dara goreng yang dijajakannya.

Lewat dari dua hari, stok akan diganti dengan yang baru. Ini penting untuk menjamin tingkat kepuasan konsumen pada titik optimum.

Ajang tersebut juga menjadi semacam tempat untuk saling berinteraksi dengan para penjaja dan pebisnis kuliner dari sejumlah daerah.

Selain Solo dan Yogyakarta, sejumlah penganan khas dari beberapa daerah lain juga turut dijajakan dalam kesempatan tersebut, termasuk dari Cirebon dan Pekalongan. Maka, tersebutlah iga bakar, sate kikil, bebek, nasi liwet, gudeg, tape bakar kinca durian, dan sebagainya.

Selain itu, dijajakan pula beragam koleksi batik dari sekitar 80 pedagang batik. International Customer Relations Manager Pasaraya Ridha Raidin menyebutkan, mendatangkan atmosfer Solo dan Yogyakarta dalam balutan ajang bernuansa batik dan kuliner cenderung menjadi keniscayaan.

Pasalnya, imbuh Ridha, Solo dan Yogyakarta adalah dua daerah yang relatif bisa dikategorikan ke dalam pusat-pusat keragaman batik Nusantara.

No comments:

Post a Comment