Thursday, August 21, 2014

MK Nilai Dalil Prabowo-Hatta soal DPT, DPTb, dan DPKTb Tidak Relevan

JAKARTA, KOMPAS.com — Mahkamah Konstitusi menyatakan dalil permohonan yang diajukan pihak pemohon, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, terkait persoalan daftar pemilih tetap (DPT), daftar pemilih tambahan (DPTb), dan daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb) tidak relevan. Alasannya, hasil rekapitulasi suara yang dilakukan pemohon sama dengan hasil rekapitulasi suara yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum.

Hal itu diungkapkan anggota majelis hakim konstitusi, Ahmad Fadlil Sumedi, saat membacakan berkas putusan sidang sengketa Pilpres 2014 di Mahkamah Konstitusi. Fadlil menyatakan, rekapitulasi keduanya menunjukkan jumlah pemilih sebanyak 133.574.277 suara. 

"Jika dikaitkan dengan petitum pemohon yang secara nasional jumlah pemilih berdasarkan hasil rekapitulasi sebanyak 133.574.277 suara, sesungguhnya sama dengan hasil rekapitulasi KPU," kata Fadlil, Kamis (21/8/2014). 

Fadlil menambahkan, adanya dalil pemohon yang menyatakan bahwa ada upaya mobilisasi pemilih untuk memilih pasangan calon tertentu tidak dapat dibuktikan. Sejumlah saksi yang didatangkan pemohon untuk memberikan keterangan di dalam persidangan tidak dapat membuktikan adanya upaya mobilisasi tersebut.

Selain itu, Fadlil menambahkan, pembentukan DPTb dan DPKTb sesusai dengan peraturan perundang-undangan yang sah. Dalam pertimbangannya, MK juga merujuk putusan MK Nomor 102 yang menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak konstitusional untuk memilih dan dipilih. Pembatasan terhadap hak tersebut merupakan sebuah pelanggaran. 

"DPT hanyalah persoalan prosedur administratif dan tidak boleh menegasikan hak warga negara," katanya.

JAKARTA, KOMPAS.com — Mahkamah Konstitusi menilai, tuduhan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang mengklaim telah terjadi mobilisasi pemilih tidak dapat dibuktikan di persidangan. Saksi-saksi yang dihadirkan oleh pemohon dianggap tidak bisa memberikan data yang kuat.
"Dari bukti para pihak dan saksi persidangan, tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa telah ada mobilisasi pemilih untuk merugikan pemohon dan menguntungkan pihak terkait (Jokowi-JK)," kata hakim Ahmad Fadlil Sumadi dalam sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) presiden dan wakil presiden di ruang sidang pleno Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Kamis (21/8/2014) siang.
Bahkan, menurut Fadlil, dalam dalil permohonannya, Prabowo-Hatta tidak menjelaskan secara rinci bagaimana mobilisasi itu dilakukan.
"Pemohon hanya menyebut bahwa telah dicurangi di daerah dengan DPKTb tinggi," ujarnya.
JAKARTA, KOMPAS.com — Mahkamah Konstitusi menilai, berbagai cara yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum untuk menyalurkan hak pilih warga seperti menggunakan daftar pemilih tambahan (DPTb), daftar pemilih khusus (DPK), dan daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb) tidak melanggar hukum apa pun.
Sebelumnya, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa mempermasalahkan tingginya jumlah DPKTb di sejumlah daerah. Mahkamah Konstitusi (MK) menggunakan pertimbangan bahwa memilih dalam pemilu adalah hak semua warga negara tanpa terkecuali. Oleh karena itu, berbagai fasilitas harus dibuat untuk menyalurkan hak warga negara.
"MK menilai bahwa sesuai petimbangan di atas, DPTb, DPK, dan DPKTb sah menurut hukum dan tidak melanggar undang-undang apa pun," kata Hakim MK Ahmad Fadlil Sumadi dalam sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) presiden dan wakil presiden di ruang sidang pleno Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (21/8/2014) siang.
Justru, sesuai dengan pertimbangan MK yang telah dijelaskan sebelumnya, Fadlil mengatakan bahwa DPTb, DPK, dan DPKTb dapat menyalurkan hak setiap warga yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT). Dia mengatakan, ketiga instrumen itu merupakan alat sementara karena data kependudukan belum lengkap. KPU tetap mempunyai tugas untuk membuat daftar pemilih tetap bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat.
JAKARTA, KOMPAS.com — Mahkamah Konstitusi menilai hitungan suara pemilu presiden yang diklaim pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa tidak beralasan menurut hukum. Dalam pokok permohonannya, Prabowo-Hatta meminta MK agar menetapkan mereka sebagai pemenang pilpres karena mereka mengklaim mendapatkan 67.139.153 suara, sementara pasangan Jokowi-JK hanya mendapatkan 66.435.124 suara.
Mereka menilai hitung-hitungan Komisi Pemilihan Umum yang memenangkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla tidak sah. KPU menetapkan Prabowo-Hatta mendapatkan 62.576.444 suara dan Jokowi-JK mendapatkan 70.997.833 suara.
"Tidak ada bukti yang meyakinkan Mahkamah kalau suara pemohon (Prabowo-Hatta) berkurang dan suara terkait (Jokowi-JK) bertambah," kata hakim MK Muhammad Alim dalam sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) presiden dan wakil presiden di ruang sidang pleno Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Kamis (21/8/2014) siang.
Selain itu, MK juga menilai keterangan saksi yang telah dihadirkan tidak mampu menunjukkan kebenaran hitung-hitungan dari tim Prabowo-Hatta itu.
"Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil pemohon tidak beralasan secara hukum," ujarnya.



No comments:

Post a Comment