Budiman Sudjatmiko baru kali ini benar-benar merasa ketakutan. Takut akan mati! Perasaan itu muncul begitu saja, ketika dia menghadapi pengalaman yang sangat luar biasa itu. Membayangkan sebagai ide untuk membuat kisah fiksi pun tak pernah terpikirkan. “Real life is stranger than fiction”, kata Budiman kemudian ketika mengisahkan kembali pengalaman luar biasanya itu.
Saat itu Budiman yang sekarang adalah anggota DPR dari PDIP, salah satu pencetus utama ide lahirnya UU Desa, merasa heran sendiri, kenapa perasaan takut mati itu bisa begitu saja muncul dari dalam dirinya. Padahal dahulu, terutama di tahun-tahun 1996-1998 ketika dia adalah salah satu aktivis politik anti-Soeharto, yang memperjuangkan reformasi dan tegaknya demokrasi di Indonesia, akibatnya dia diburu-buru intel-intel Soeharto, dia tidak pernah merasa takut mati.
Di masa-masa itu Budiman selalu menjadi salah satu target utama intelijen rezim Soeharto, BIA (Badan Intelijen ABRI) dan Bakorstanas (Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional), apalagi ketika dia membentuk Partai Demokratik Demokrat (PRD).
Bersama beberapa orang sahabatnya Budiman pernah diculik, disekap, dan diinterogasi dengan cara-cara yang kejam ala Orde Baru. Beberapa sahabatnya itu ada yang sampai tewas, dan ada yang tidak pernah kembali sampai hari ini. Mereka adalah bagian dari tiga belas aktifis yang sampai sekarang masih hilang itu. Ketika itu, menghadapi saat-saat yang paling mencekam, ketika nyawa sudah berada di tepi jurang kematian, Budiman mengaku tak ada dalam pikirannya untuk takut mati.
Budiman dan beberapa temannya dari PRD ditangkap terakhir kali oleh rezim Orde Baru, pasca peristiwa kerusuhan penyerbuan gedung DPP PDI, pada 27 Juli 1996. Mereka dijadikan kambing hitam sebagai otak dari kerusuhan itu. Budiman divonis penjara 13 tahun. Dibebaskan ketika Soeharto lengser, digantikan B.J. Habibie.
Ketika selama bertahun-tahun selalu diincar maut di masa-masa itu, Budiman seolah tidak punya rasa takut mati. Tetapi, kenapa sekarang dia menjadi takut mati? Budiman juga tidak bisa menjawabnya, karena perasaan takut mati itu begitu saja muncul ketika dia terjebak di dalam peristiwa yang sangat luar biasa itu.
Peristiwa itu terjadi pada tengah malam di tanggal 13 Agustus 2008, 6 tahun yang lalu, di sebuah negara yang nun jauh di sana. Di Republik Paraguay, tepatnya di Ibukota di salah satu negara Amerika Latin itu, Asunction!
Sekitar pukul 3 dini hari, mereka berempat berada di dalam sebuah mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi, melebihi 100 km per jam, membela kota Asunction yang telah lelap. Kondisi jalan yang naik turun, membuat beberapakali mobil itu sesaatmelayang di udara. Setiap kali mobil itu melayang di udara, jantung mereka punseolah-olah ikut melayang dari raga.
Mereka berempat itu adalah Budiman Sudjatmiko dan Rikard Bangun (sekarang pimpinan Redaksi Harian Kompas), dua orang ini duduk di jok belakang mobil tersebut, seorang Romo asal Flores, Indonesia, Romo Martin Bhisu, duduk di samping sopir, dan si sopir itu. Budiman duduk persis di belakang sang sopir yang masih terus menginjak dalam-dalam pedal gas mobil itu. Sopir mobil inilah yang membuat peristiwa itu menjadi berlipatganda luar biasanya, yang tidak mungkin bisa dilupakanmereka semua. “Real life is stranger than fiction”, Budiman mengistilahkan pengalamannya itu. Kenapa demikian? Karena sopir itu bukan lain adalah presiden terpilih Republik Paraguay, Fernando Lugo, yang dua hari lagi akan dilantik!
Budiman dan Rikard sangat bingung dan saling bertanya apa yang sebenarnya sedang terjadi ini? Apa sebenarnya yang sedang dihindari Fernando Lugo, dan kenapa harus dia yang dua hari lagi resmi dilantik sebagai Presiden Paraguay itu harus mengemudi sendiri mobilnya? Nasib apa yang membuat mereka berdua yang baru hari dan kali pertama meninjak kaki di Paraguay, langsung mengalami peristiwa ini bersama dengan seorang presiden terpilih negara itu?
Ketika mobil itu masih terus melaju dengan kecepatan di atas 100 km per jam, Romo Martin dan Fernando Lugo terdengar berkomunikasi dalam bahasa Spanyol, sehingga Budiman dan Rikard tidak mengerti apa yang sedang mereka percakapankan itu. Namun dari percakapan itu, dia sempat menangkap beberapaka kali kata yang bunyinya seperti “golpe” Budiman berpikir sejenak, kemudian terkejut luar biasa, ketika ingat bahwa arti kata dalam bahasa Spanyol itu adalah “kudeta”! “Apa!? Kudeta!?”
Kemudian Romo Martin menjelaskan kepada Budiman dan Rikard bahwa saat ituternyata ada rencana pembunuhan terhadap Fernando Lugo! Karena itu sekarang diamelarikan diri dari rumahnya tadi! Kebetulan sekali, dua tamunya dari Indonesia itu yang awalnya punya rencana hendak mewawancarainya itu, pun “terjebak” di dalam peristiwa tersebut.
“Tapi, bukankah ada pasukan pengawal kepresidenan yang mengawalnya?” Tanya Budiman kepada Romo Martin. Romo Martin menjelaskan, Lugo mendapat informasi bahwa justru di antara para pengawal itulah ada eksekutor yang akan membunuhnya! Maka itulah dia langsung melarikan dirinya dengan mengemudi mobilnya sendiri, dan beginilah mereka sekarang.
Budiman menjadi semakin khawatir, bagaimana jika terjadi apa-apa dengan mereka? Bagaimana jika mobil yang sedang melaju dengan sangat kencang itu tiba-tiba menabrak sesuatu yang keras, atau mereka mati terkena peluru nyasar dalam suatu aksi tembak-menembak ketika kudeta terjadi? Lalu, seantero Amerika Latin pun akanheboh luar biasa, bergetar-getar menyatakan penuntutan balas atas kematian sang sopir. Amerika Latin bisa diselimuti duka sekaligus mengalami keheranan luar biasa: Kenapa kecelakaan itu terjadi dan kenapa bisa ada tiga jenazah orang Indonesia bersama presiden mereka yang juga tewas itu? Kenapa sang presiden terpilih yang mengemudi mobil itu?
Akhirnya, keempat orang itu tiba di lokasi yang menjadi tujuan Fernando Lugo, yaitu sebuah Rumah Induk dari SVD (Sociedad de Verbo Divino), sebuah ordo Katholik yang banyak terdapat di Amerika Latin. Di situlah Fernando Lugo untuk sementara mengamankan dirinya.
Romo Martin kemudian menjelaskan dengan lebih detail kepada Budiman dan Rikardtentang peristiwa apa yang sebenarnya sedang mereka alami itu. “Ada upaya pembunuhan terhadap Lugo,” katanya mengulangi penjelasannya di mobil tadi itu.
“Siapa yang mau membunuhnya, Romo?” Tanya Rikard.
“Oligarki yang tidak suka Fernando Lugo menang pemilihan presiden. Mereka tidak ingin Lugo dilantik besok lusa.”
“Siapa oligarki itu?” Tanya Budiman.
“Siapa lagi kalau bukan tuan tanah, para pengusaha hitam, politisi-politisi konservatif dan sejumlah perwira militer loyalis kandidat presiden yang kalah, Lino Oviedo?”
Fernando Lugo adalah mantan uskup. Ketika dia menjadi uskup, dia banyak membela rakyat miskin, terutama petani-petani yang tanahnya banyak dirampas oleh tuan-tuan tanah yang berkomplot dengan penguasa sipil dan militer. Maka, dia pun dijuluki oleh rakyat Paraguay dengan sebutan “Uskup Orang Miskin.” Setelah dia terpilih menjadi presiden pun mereka menyebutkannya dengan sebutan “Presiden yang merakyat.”
Karena desakan rakyat semakin kuat, dan dia sendiri berpikir bahwa perjuangannya untuk mensejahterakan rakyat Paraguay, dan menjadikan Paraguay yang baru, akan bisa lebih maksimal jika dia menjadi presiden, maka Lugo pun memutuskan untuk mencalonkan diri sebagai presiden di Pemilu Presiden Paraguay di tahun 2008 itu.
Lugo kemudian mengundurkan diri sebagai uskup. Awalnya, permohonan pengunduran dirinya sebagai uskup itu, ditolak Vatikan, tetapi rakyat Paraguay pun “mengancam” Vatikan, apakah hendak mendapatkan satu orang Lugo yang tetap menjadi uskup, tetapi kehilangan jutaan umat Katholik di Paraguay, ataukah kehilangan satu orang uskup, tetapi tetap diikuti oleh jutaan umat Katholik di Paraguay. Vatikan akhirnya mengabulkan permohonan mundur Lugo sebagai uskup itu.
Budiman dan Rikard kemudian diundang juga menghadiri pelantikan Fernando Lugo sebagai Presiden Paraguay pada 15 Agustus 2008.
Segera setelah dilantik sebagai Presiden, Lugo langsung bergerak mengeluarkan beberapa dekrit dan mengadakan beberapa kebijakan baru untuk mulai melakukan perubahan-perubahan penting. Lugo langsung membuktikan perkataannya saat pidato pelantikannya sebagai Presiden, “Orang harus membayar apa yang telah mereka curi!”
Budiman dan Rikard menyaksikan sendiri bagaimana Lugo bergerak begitu cepat sesaat setelah dilantik, dia memeriksa dan menandatangani berbagai dekrit, di antaranya mengenai reformasi birokrasi yang merupakan salah satu yang terkorup di dunia, distribusi tanah untuk petani tak bertanah, penanganan kaum Indian, dan sebagainya, di hadapan sejumlah calon menterinya. Tidak lebih dari dua puluh empat jam setelah pelantikannya, dia langsung membuat kebijakan terobosan politiknya pada hari Minggu.
Saat Budiman bertanya kepadanya, “Mengapa kebijakan-kebijakan strategis seperti itu langsung dibuat bahkan sebelum pelantikan kabinet?”, calon Menteri Sekretaris Negara, Luis Perito, segera menyahut:
“Kita sekarang sudah berkuasa. Dari ruangan ini (Istana Negara), sudah sangat lama para penguasa mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Menunda untuk dua puluh empat jam lagi setelah penantian lama 197 tahun tak bisa kami tolerir lagi!”
Budiman menulis renungannya, “Aku tersenyum haru untuknya dan untuk rakyat negerinya. Tapi pada saat yang sama aku tertegun seraya menelan ludah untuk tanah airku sendiri. Saat itu aku teringat, sangat ingat bahkan, bagaimana perubahan politik di tanah airku sendiri justru dibajak oleh unsur-unsur rezim lama. Ada ironi yang aku telan saat menyaksikan Lugo mulai memimpin Paraguay, pada suatu hari Minggu yang penuh semangat.”
Demikianlah kisah di atas saya sari dari buku yang ditulis oleh Budiman Sudjatmiko, yang berjudul Anak-anak Revolusi, Jilid 2, Penerbit Gramedia, 2014, Bab 14 dan 15.
*
“Orang harus membayar apa yang telah mereka curi!” Itu antara lain pernyataan Presiden yang bernama lengkap Fernando Armindo Lugo Mendez itu, yang dikutip Budiman Sudjatmiko di bukunya itu. Dan, seperti yang dituturkan Budiman, Lugo langsung menggebrak, membuktikan kata-katanya itu, segera – hanya empat jam setelah dilantik, bahkan saat di hari Minggu. Gebrakan Lugo itu boleh dikatakan melawan arus di negaranya yang selama puluhan tahun sudah membudaya dengan kebiasaan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang dilakukan oleh para penguasanya yang berasal dari Partai Colorado. Sebuah partai politik sebelumnya telah sangat berkuasa selama 61 tahun, yang mirip dengan Golkar di Indonesia di masa Orde Baru.
Selama bertahun-tahun itu pula setiap penguasa di Paraguay sudah “biasa” berkomplot dengan korporasi-korporasi besar, baik di dalam negeri, maupun dari luar negeri, terutama Amerika Serikat untuk menguras kekayaan negaranya sendiri demi memperkaya dirinya sendiri dan komplotannya.
Bisakah Fernando Lugo mengubah semuanya, yang berarti melawan arus yang pasti sangat kuat luar biasa itu? Dengan demikian musuh-musuhnya pasti sangat banyak, dan sangat kuat.
Ketika itu, gebrakan yang dilakukan oleh Fernando Lugo sudah mendapat peringatan dari Presiden Ekuador Rafael Correa. Dengan cemas dia mengingatkan, “Begitu Lugo mulai mengubah berbagai hal, serangan akan dimulai!” Serangan dimaksud berasal dari para kapitalis, politikus dan koruptor, termasuk mereka yang selama ini berkoloborasi dengan cara-cara kotor bersama dengan korporasi-korporasi raksasa asal Amerika, yang dilakukan dengan menghalalkan segala cara.
Para pakar politik Amerika Latin pun sudah memprediksi bahwa Lugo akan menjalani masa-masa yang sangat berat untuk mempertahankan posisinya sebagai presiden. Bukan tak mungkin Partai Colorado akan berkuasa kembali, jika pemerintahan koolisi yang dipimpin oleh Lugo itu gagal meredam anarkisme yang timbul akibat euforia di kalangan petani miskin. Segera setelah Lugo dipastikan terpilih sebagai presiden, para petani tanpa tanah langsung menyerobot tanah-tanah pertanian yang diukuasai perusahaan-perusahaan besar, sehingga menimbulkan berbagai gejolak sosial. Kasus-kasus seperti ini terus terjadi selama Lugo berkuasa.
Serangan yang diperingatkan Presiden Ekuador Rafael Correa itu benar-benar terjadi, hanya sehari setelah Lugo dilantik sebagai presiden baru, yang seharusnya berkuasa dari 2008-2013. BBM dan obat-obatan mendadak hilang dari pasaran, sehingga sempat menimbulkan krisis.
Puncaknya terjadi pada 2012.
Memanfaatkan terjadinya bentrokan berdarah salam suatu kasus sengketa tanahantara polisi dengan para petani yang menyebabkan tewasnya 10 petani dan 7 polisi, setelah melewati beberapa sidangnya yang dilakukan dengan tergesa-gesa, Senat Paraguay yang dikuasai partai oposisi memutuskan menjatuhkan kesalahan kepada Lugo.
Dia dinyatakan bersalah karena gagal menjalankan tugasnya sebagai presiden, dan pada 22 Juni 2012 mandatnya sebagai Presiden Paraguay dicabut Senat. Meskipun, sebelumnya delegasi dari Union of South American Nations (UNASUR) telah datang ke Asunction untuk bertemu dengan pihak pemerintah dan oposisi, dan memperingatkan oposisi bahwa akan terjadi “kudeta kamuflase” jika Lugo dilengserkan.
Pencopotan Lugo sebagai Presiden itu sempat menimbulkan demonstrasi besar-besaran di berbagai kota di Paraguay, terutama di Ibukota Asunction. Untuk menghindari konflik dan hal lain yang lebih buruk lagi, Lugo menyatakan menerima pemecatannya itu, “Saya mengucapkan selamat. Demokrasi di Paraguay saat ini sudah terluka,” ujar Lugo usai Senat memutuskan pemecatannya itu.
Setelah Lugo dilengserkan Senat, Wakil Presiden Frederico Franco yang berasal dari Partai Liberal Radikal, naik menjadi Presiden menggantikannya. Di awal kekuasaan Lugo, Franco selalu menyatakan dukungannya terhadap program-program Lugo. Ketika pemerintahan telah berjalan beberapa tahun, mulai tampak adanya perbedaan-perbedaan pendapat antara Lugo dengan Franco. Di saat-saat Lugo harus berhadapan dengan Senat, Franco memilih berpihak kepada Senat, sehingga mempermudah jatuhnya Lugo dari kursi kekuasaannya itu.
Naiknya Frederico Franco menjadi Presiden Praguay mengganti Ferdando Lugo itu tidak mendapat pengakuan dari beberapa negara tetangga Paraguay, di antaranya Presiden venezuela Hugo Chaves dan Presiden Ekuador Rafael Corea.
Frederico hanya berkuasa dari 22 Juni 2012 – 15 Agustus 2013, atau sama dengan menghabiskan masa jabatan sebenarnya dari Lugo. Setelah itu, apa yang dikhawatirkan banyak pihak pun terjadi, dengan berkuasanya kembali Partai Colorado dengan presidennya Horacio Cartes, dan Wakil Presiden Juan Afara, juga dari Partai Colorado.
*
Fenomena politik yang terjadi di Paraguay dengan tokoh utamanya Fernando Lugo di era 2008 - 2012 itu mirip-mirip dengan fenomena politik yang terjadi di Indonesia saat ini dengan tokoh utamanya Jokowi.
Seperti Fernando Lugo, Jokowi juga dikenal sebagai presiden terpilih yang benar-benar berasal dan berjuang demi rakyat. Jokowi juga disebut sebagai “Presiden Rakyat”, atau “Presiden Rakyat Miskin”.
Sejak memulai starnya sebagai calon presiden, Jokowi sudah melakukan gerakan yang melawan arus, dan kebiasaan yang selama ini telah “membudaya” selama puluhan tahun di pemerintahan Republik Indonesia. Dia menyatakan dengan tegas semua parpol, atau pihak mana pun yang hendak berkoalisi dengannya harus menerima syarat terlebih dulu bahwa koalisi dilakukan bukan berdasarkan komitmen bagi-bagi kekuasaan. Belajar dari sejarah, Jokowi tak ingin tersandera oleh parpol-parpol politik dengan politik balas-jasa, hutang budi, dan politik dagang sapi, yang hanya mengerus hak-hak prerogatifnya jika terpilih sebagai presiden, yang pada akhirnya membuat pemerintahan berjalan tidak efektif, sibuk mengatasi konflik internal, dan sebagainya. Bahkan bisa terjerumus pada praktek KKN juga.
Setelah pada 22 Juli 2014, begitu dipastikan oleh KPU sebagai pemenang Pilpres 2014, yang berarti Jokowi dan JK akan secara resmi memangku jabatan Presiden dan Wakil Presiden untuk masa jabatan 2014-2019, setelah dilantik pada 20 Oktober 2014 mendatang, Jokowi tidak mau membuang-buang waktu lagi, dia langsung bergerak cepat – meskipun saat ini sidang gugatan hasil Pilpres masih berlangsung di MK, tetapi Jokowi tetap yakin tetap memang.
Salah satu gerak cepat yang dilakukan Jokowi adalah membentuk tim transisi pemerintahan. Tim transisi ini ditugaskan untuk melakukan koordinasi dengan pemerintahan SBY yang akan segera digantikannya, serta menjalankan tugas-tugas lainnya sehingga begitu dia dilantik sebagai presiden, langsung sudah bisa tancap gas bekerja memulai jabatan Presidennya.
Seperti yang dilakukan ketika menjadi Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta, Jokowi bersama JK juga telah berkomitmen untuk mengubah dan menciptakan sistem-sistem baru di dalam pemerintahannya sedemikian rupa sehingga benar-benar tercipta efesiensi dan efektifitas kerja yang maksimal dalam melayani rakyat, memperkecil sekecil-kecilnya kesempatan melakukan KKN oleh semua aparatur negara (dengan mengandalkan kemajuan sistem teknologi dan informasi, sistem perektrutan, dan lain-lain), memilih dan menentukan menteri-menteri yang tidak terikat dengan partai politik mana pun, menteri-menterinya harus mereka yang tidak merangkap jabatannya di partai politiknya, tetapi yang didasarkan pada kriteria profesionalisme yang obyektif, melibatkan masukkan dari masyarakat, dan lain sebagainya.
Terpilihnya Jokowi sebagai presiden juga tidak disukai para politikus dan pejabat negara koruptor, kaum kapitalis yang selama ini besar dengan mengandalkan KKN, para mafia korporasi raksasa, serta kelompok-kelompok radikal dan sektarian agama.
Selama Pilpres berlangsung berbagai upaya, cara dan daya dilakukan mereka untuk mengagalkan Jokowi ke kursi presiden. Kekuatan penuh dikerahkan, tenaga, daya, dan dana dicurahkan habis-habisan, cara haram pun dihalalkan, isu-isu SARA dan fitnah-fitnah keji pun dilakukan, tetapi tetap saja gagal. Sepertinya hanya tinggal satu cara saja yang belum mereka lakukan, yang mudah-mudahan saja tak akan pernah mereka coba lakukan, yaitu usaha pembunuhan terhadap Jokowi, sebagaimana terhadap Fernando Lugo dua hari menjelang diadilantik itu.
Tetapi, upaya-upaya untuk menjegal Jokowi pasti tidak akan berhenti sampai di sini saja. Hampir pasti selama Jokowi berkuasa nanti pun dia akan tetap diganggu dengan berbagai cara dan intrik-intrik politik, termasuk oleh koalisi-koalisi oposisi di parlemen. Mereka pasti akan terus mencari-cari kesalahan Jokowi untuk dijadikan alasan menjatuhkannya di tengah jalan. Seperti yang dialami oleh Fernando Lugo, yang akhirnya berhasil dilengserkan hanya setahun menjelang masa jabatan resminya berakhir. Atau, seperti yang pernah dilakukan kelompok Poros Tengah pimpinan Amien Rais terhadap Gus Dur.
Jokowi bukan tidak menyadari hal ini, oleh karena itu dia beberapakali menyatakan secara terang-terangan, meminta dukungan sepenuhnya dari seluruh rakyat untuk bersama-sama melawan kelompok-kelompok tersebut. Dengan pengawasan ketat dan bersatunya rakyat dalam mendukung pemerintahan Jokowi – selama dia berada di jalur yang benar, niscahya apapun kekuatan jahat yang mencoba menjegalnya secara ilegal dipastikan akan menemukan kegagalan.
Selain itu tentu saja diharapkan dukungan sepenuhnya dari segenap parpol koalisi yang mendukung Jokowi-JK, termasuk komitmen penuh JK sendiri, agar tetap setia dan sadar sepenuhnya bahwa meskipun dia lebih senior dan berpengalaman daripada Jokowi, dia tetap adalah bawahannya Jokowi, dengan mematuhi apa saja yang telah digariskan atau diprogramkan Jokowi dalam kedudukannya sebagai Presiden.Berbeda pendapat boleh saja dan itu wajar, asalkan janganlah sampai terlalu menonjol, dan mengganggu efektifitas kerja pemerintahan mereka.
Jangan sampai sejarah Fernado Lugo di Paraguay terulang pada Jokowi di Indonesia.
Semoga. Amin. ***
Daftar Pustaka:
- Anak-anak Revolusi Jilid 2, Gramedia, 2014, oleh Budiman Sudjatmiko
- Wikipedia
No comments:
Post a Comment