Saturday, August 30, 2014

Penyapu Jalan Menggantungkan Harapan kepada Ahok

JAKARTA, KOMPAS.com — Hari masih gelap. Jarum jam menunjuk pukul 02.30 WIB. Sebagian besar warga ibu kota Jakarta masih terlelap dalam tidur. Jalanan di beberapa kawasan tampak lengang. 

Kokok sang jago belum terdengar ketika Darmawan dan istrinya, Lina, mulai menyapu sepanjang Jalan Pondok Pinang Raya, Jakarta Selatan. 

Sorot lampu penerangan jalan raya (PJU) di kedua sisi jalan membantu keduanya untuk membersihkan sampah, mulai dari botol bekas minuman hingga daun-daun kering yang berguguran.

Udara pagi yang menusuk kulit tidak menjadi penghalang bagi Darmawan dan Lina untuk bekerja pada dini hari. Keduanya sibuk menyapu jalan tanpa menghiraukan beberapa kawula muda yang memanfaatkan situasi lengang di kawasan tersebut untuk ugal-ugalan menggunakan sepeda motor. 

"Memang setiap hari kami harus mulai kerja jam segini (pukul 02.30 WIB). Kalau mulai pukul 05.00 pagi, di sini udah mulai ramai kendaraannya," ujar Darmawan, membuka percakapan saat ditemui Kompas.com di Jalan Pondok Pinang, Jakarta Selatan, Rabu (27/8/2014). 

Darmawan mengaku menekuni pekerjaan ini (penyapu jalan) sejak dua tahun silam. Dia dan istrinya ditempatkan pada lokasi yang sama, Darmawan menyapu sisi kiri jalan, sedangkan Lina bertanggung jawab membersihkan sisi kanan jalan. 

Pria asal Madiun, Jawa Timur, ini juga bersyukur bahwa penghasilannya sebagai tukang sapu cukup untuk membiayai pendidikan ketiga anaknya, walaupun terkadang dia harus mengutang. 

"Kalau dulu masih dipegang swasta, kami hanya digaji Rp 700.000. Saat (kepemimpinan) Pak Jokowi, gaji kami naik, makanya saya dan istri saya semangat kerja," ujar dia. 

Darmawan menambahkan bahwa ia sudah merantau ke Jakarta sejak tahun 1989 setelah menyelesaikan pendidikannya di bangku sekolah menengah atas. Berbekal ijazah SMA, dia mencoba peruntungannya di Jakarta. 

Tanpa keterampilan yang memadai, lanjut Darmawan, dia terpaksa mengubur mimpinya untuk bisa bekerja sambil kuliah. Masa-masa itu dilewatinya dengan bekerja sebagai kuli bangunan dengan penghasilan yang kecil. 

Pekerjaan sebagai kuli ditekuni hingga dia menikahi Lina pada tahun 1996. Dari pernikahan mereka, lahirlah Arief (17), Nisa (14), dan si bungsu, Riki (10). Ketiga anaknya kini dititipkan pada sang nenek di Madiun. 

Arief saat ini bersekolah di sebuah sekolah menengah kejuruan (SMK) di Madiun, sedangkan Nisa duduk di bangku SMP, dan adiknya, Riki, baru saja duduk di kelas V SD. 

Pengalaman dan cita-cita masa lalu yang urung tersampai menjadi motivasi baginya untuk bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga bergelar sarjana. 

"Saya ingin masa depan anak-anak saya lebih baik dari kami, orangtuanya. Kami tidak ingin mereka bekerja seperti kami," sambung Arief.

Pekerjaan sebagai penyapu jalan ditekuni dengan serius dan penuh tanggung jawab oleh pasangan suami istri ini. Bahkan, mereka selalu memulai pekerjaan tersebut sejak pukul 02.30 WIB dan rehat sejenak pada pukul 06.00 pagi ketika jalanan di sekitar kawasan tersebut mulai dipadati kendaraan bermotor. 

Kendati demikian, dia bersama istrinya masih akan tetap berada di lokasi tersebut hingga pukul 09.00 pagi untuk sesekali memungut sampah yang dibuang sembarangan para pengendara yang melintas. 

"Setelah pukul 09.00, kami istirahat sampai pukul 01.00 siang. Setelah itu, lanjut kerja bersih-bersih sampai pukul 05.00 sore," ujarnya. 

Darmawan dan Lina harus menyapu sejauh 2,5 km. Lokasi awal mereka menyapu adalah perempatan Jalan Pondok Pinang–Lebak Bulus hingga ke Seven Eleven di Jalan Pondok Pinang Raya. 

Kendati digaji Rp 80.000 per hari atau Rp 2.400.000 untuk sebulan, Darmawan mengaku masih harus sering mengutang karena jadwal pembayaran gaji yang tak pasti setiap bulannya. Utang tersebut dipakai untuk membantu kebutuhan hidup anak-anaknya di Madiun dan kebutuhan mereka di Jakarta.

Tentang upah tersebut, lanjut Darmawan, dia berharap nantinya gaji mereka bisa dinaikkan sehingga kebutuhan hidup mereka bisa terpenuhi. 

"Kalau nanti Pak Ahok jadi gubernur, saya ingin dia perhatian sama rakyat kecil seperti kami. Kalau bisa, kami digaji Rp 3 juta per bulannya," kata dia. 

Darmawan memiliki alasan tersendiri terkait permintaannya itu. Dengan gaji sebesar itu, dia bersama istrinya berharap bisa menabung sedikit demi sedikit untuk persiapan kuliah anak-anaknya nanti. 

Dalam pandangannya, pendidikan adalah salah satu jalan bagi anak-anaknya agar bisa mengubah kehidupan mereka menjadi lebih baik. Terlebih lagi, ke depannya, persaingan di dunia kerja semakin ketat sehingga dia ingin mempersiapkan masa depan anak-anaknya lebih baik. 

Seusai berbincang sejenak, Darmawan pamit untuk melanjutkan pekerjaannya. Dengan hati-hati, dia membersihkan daun-daun yang berada di sela-sela pembatas jalan. Hari masih gelap, tetapi udara dingin tak lagi begitu menusuk kulit. 

"Saya harus bersih-bersih di sini lebih cepat karena nanti harus bersihkan tumpukan sampah bekas orang jualan di lesehan. Di sana (sampahnya) lebih banyak," ujar dia lalu tersenyum lepas.

Depok Macet, Ahok Batal Hadiri Konser Iwan Fals

DEPOK, KOMPAS.com - Iwan Fals menggelar konser bertajuk Konser Pelangi di Panggung Kita, Leuwinagung, Tapos-Depok, Jawa Barat, Sabtu (30/8/2014). Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama yang semula dijadwalkan hadir, dipastikan batal menonton langsung konser tersebut.

"Pak Ahok tidak bisa ke sini (konser) karena terkendala macet di jalan. Tahu kan di hari Sabtu sering macet," ujar  istri Iwan Fals, Rosanna, di Leuwinagung, Depok, Jawa Barat, Sabtu (30/8/2014).

Menurut dia, sebelumnya sudah ada konfirmasi bila Ahok akan menghadiri acara tersebut. Namun, sang wakil gubernur berhalang hadir.

Hal senada disampaikan oleh Syarifudin, panitia Konser Pelangi Iwan Fals. Menurut dia, pukul 17.00 masih ada konfirmasi bila Ahok akan hadir. Namun, karena ada agenda menghadiri malam Final Abang None, akhirnya Ahok membatalkan hadir.

Mereka Lebih Ingin Bertemu Ahok ketimbang Jokowi

Jessi CarinaPaskibraka asal Kepulauan Meranti, Riau, saat menghadiri malam final pemilihan Abang None Jakarta 2014, di Plaza Monas, Jakarta Pusat, Sabtu (30/8/2014)

JAKARTA, KOMPAS.com - Keceriaan terlihat di wajah anggota Pasukan Pengibaran Bendera Pusaka (Paskibraka) dari Kepulauan Meranti saat menyaksikan langsung Gegap Gempita Pemilihan Abang None di Plaza Monas, Jakarta Pusat. Mereka mengaku senang bisa melihat langsung sosok Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.

"Biasanya lihat dari televisi. Sekarang ada di depan mata. Maunya bisa makan malam bareng," kata Ketua Paskibraka Kepulauan Meranti, Yogi, di Plaza Monas, Sabtu (30/8/2014). 

Bersama dengan 31 anggota Paskibraka yang lain, Yogi mengaku sudah sejak lama mengagumi sosok pria yang akrab disapa Ahok itu. Menurut dia, Basuki adalah pribadi yang tegas. Namun, tetap dapat membaur dengan rakyat kecil. 

Bahkan, Yogi mengaku, keinginan dia dan teman-temannya untuk bertemu Basuki jauh lebih besar daripada keinginan bertemu dengan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Ketika akhirnya dapat bertemu Basuki, Yogi merasa senang sekaligus kecewa. 

Senangnya, Yogi dapat melihat langsung Basuki dan menyaksikan bagaimana wakil gubernur DKI itu membaur dengan masyarakat. "Kecewanya, hanya lihat dari jauh," ujarnya. 

Sebanyak 32 anggota Paskibraka Kepulauan Meranti hadir dalam acara malam ini. Tiga puluh anggota berasal dari Paskibraka Kepulauan Meranti dan 2 orang berasal dari Paskibraka Provinsi Riau perwakilan dari Kepulauan Meranti. Kehadiran mereka merupakan undangan dari Kapolres Kepulauan Meranti.

"Ahok Ada, Pak Jokowi Kok ENggak Ada?"

JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah penonton Final Pemilihan Abang dan None (Abnon) menunggu kehadiran Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Mereka bertanya-tanya, ke mana gerangan gubernur mereka.

Sejak acara yang berlangsung di Plaza Sisi Timur Monumen Nasional (Monas) dimulai, pejabat DKI yang hadir dan dikenal oleh warga Jakarta hanya Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Pria yang akrab disapa Ahok itu tampak didampingi oleh istrinya, Veronica Tan. Keduanya duduk di Podium D.

Selain keduanya, terlihat juga Sekretaris Daerah DKI Jakarta, Syaifullah, Kepala Dinas Pariwisata DKI Jakarta, Arie Budiman, Pelaksana Tugas (Plt) Walikota Jakarta Pusat, Rustam Effendi, dan beberapa pejabat Pemprov DKI Jakarta lainnya.

"Ahok ada, Pak Jokowi kok enggak ada?" tanya salah seorang pengunjung ke temannya.

Menurut salah seorang pengunjung sekaligus penonton acara pemilihan Abnon, Rusdi (35) warga Cempaka Putih, Jakarta Pusat, selain menyaksikan aksi parade para Abnon Jakarta 2014, dirinya mengaku ingin melihat pria yang terpilih menjadi presiden terpilih 2014 tersebut.

"Saya kira pak Jokowi dateng, eh enggak ya ternyata. Padahal saya mau lihat dari dekat," kata dia kepada Warta Kota.

Menurut dia, acara pemilihan Abnon akan lebih meriah jika dihadiri Jokowi. Sebab, sosoknya, menurut dia, paling ditunggu-tunggu warga Jakarta.

"Acara sih memang bagus, ramai, tapi kan kalau pak Jokowi dateng, pastinya bakalan lebih ramai lagi. Sayang banget ya enggak datang," sesalnya.

Acara Final Abnon dibuka sekitar pukul 20.05 WIB. Kehadiran pelawak Opie Kumis dan Sapri menambah ramai suasana. Alat musik khas Jakarta, tanjidor pun mengiri mereka di atas panggung.

Ahok dan Arie Budiman secara tiba-tiba sudah hadir di panggung yang terang akan cahaya lampu sorot. Keduanya juga terlihat mengenakan jas kurung khas Betawi.

Ahok pun diberikan rebana, untuk digendangkan sebagai bentuk membuka secara resmi acara malam puncak pemilihan abang none. Sebelum menggendang rebana tersebut, Ahok pun langsung melantunkan pantun sebagai peresmian pembukaan.

"‎Bahan atap ketiup angin, bunga kenanga dikira cempaka, dengan ‎ucapan Bismillahirohmanirrohim, kita buka acara abang dan none," ucap Ahok sambil menggendang rebana tersebut. (Panji Baskhara Ramadhan)

Hasyim: Jangan Ragukan Jokowi Pimpin Indonesia

KOMPAS IMAGES / RODERICK ADRIAN MOZESWarga antusias melihat Gubernur DKI Jakarta yang juga presiden terpilih Joko Widodo alias Jokowi bermain bola di acara Pesta Rakyat Waduk Pluit, di Lapangan Bola Waduk Pluit, Jakarta Utara, Minggu (17/8/2014). Selain bermain bola, Jokowi juga sempat ikut serta dalam lomba balap karung bersama warga di Taman Waduk Pluit.

DEPOK, KOMPAS.com - Mantan Ketua PBNU KH Hasyim Muzadi mengatakan, masyarakat tak perlu ragu dengan kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) sebagai Presiden periode 2014-2019.
"Dalam waktu lima tahun ini Jokowi naik pangkat, mulai dari menjadi wali kota Solo, Gubernur DKI Jakarta hingga sekarang sebagai presiden terpilih," kata Hasyim di hadapan ratusan ulama pesantren dan cendikiawan yang datang dari 34 provinsi dalam acara sarasehan di Pondok Pesantren Al-Hikam 2 di Depok, Sabtu (30/8/2014), seperti dikutip Antara.
Tokoh nasional juga hadir dalam acara tersebut diantaranya Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Ashiddiqie, Panglima TNI Jenderal Moeldoko.
Ia mengatakan, setelah melewati tahapan berjenjang dari pimpinan daerah hingga menjadi pimpinan nasional, maka Jokowi sudah teruji sebagai pimpinan yang menjadi harapan rakyat.
"Ini merupakan suatu anugerah, jadi harus kita rawat bersama-sama," kata Hasyim.
Hasyim mengatakan, ada dua idaman ulama ketika menjadi pemimpin, yaitu kejujuran dan sederhana. Kejujuran merupakan suatu hal yang penting dari seorang pemimpin.
"Jadi jujur yang mengatur nafsu, bukan nafsu yang mengatur kejujuran," ucapnya.
Dengan kesederhanaan yang ada pada Jokowi, kata dia, diharapkan akan menular kepada pimpinan daerah lainnya, baik di tingkat gubernur, bupati maupun wali kota.
Hasyim juga menngingatkan Jokowi tidak ragu terhadap dukungan para ulama.
"Kalau saya sudah tidak bisa menjadi apa-apa karena sudah 'expired' (kesaluwarsa)," katanya.

Jokowi Ingatkan Paspampres Jangan Sampai Ada Rakyat yang Mengeluh

KOMPAS IMAGES / RODERICK ADRIAN MOZESGubernur DKI Jakarta dan juga Calon Presiden terpilih Joko Widodo alias Jokowi bersalaman dengan warga seusai bermain bola di acara Pesta Rakyat Waduk Pluit, di Lapangan Bola Waduk Pluit, Jakarta Utara, Minggu (17/8/2014). Selain bermain bola, Jokowi juga sempat ikut serta dalam lomba balap karung bersama warga di Taman Waduk Pluit.

DEPOK, KOMPAS.com- Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) mempertanyakan prosedur tetap (protap) pasukan pengamanan presiden (paspampres) ketika dirinya melakukan kunjungan berbagai tempat.
"Setiap berkunjung saya selalu menyapa rakyat dan bersalaman. Jadi siapa saja saya salami. Apakah setiap kunjungan berbeda protapnya atau bagaimana," kata Jokowi dihadapan ratusan ulama pesantren dan cendikiawan yang datang dari 34 provinsi dalam acara sarasehan di Pondok Pesantren Al-Hikam 2 di Depok, Jabar, Sabtu (30/8/2014), seperti dikutip Antara.
Jokowi mengatakan, harus jelas seperti apa protap Paspampres ketika dirinya berkunjung ke waduk, pasar ataupun bertemu dengan para ulama.
"Jangan sampai ada masyarakat mengeluh tidak bisa dekat dengan saya, karena saya selalu ingin dekat dengan rakyat," ujarnya.
Ia mengatakan, seorang pemimpin bukan hanya duduk empuk di ruangan berpendingin udara dan tanda tangan. Kalau pemimpin seperti ini, ia menganggap itu pekerjaan mudah.
"Yang sulit itu pemimpin yang mau melihat dan mendengar permasalahan langsung dari rakyatnya," ucap Jokowi.
Jokowi mencontohkan ketika dirinya mendapat laporan penduduk miskin yang ada di Jakarta hanya mencapai 3,8 persen.
"Laporan tersebut tidak diterima begitu saja karena selama saya 'blusukan' masih banyak sekali rakyat yang miskin. Ternyata ada kategori yang menyebutkan rentan miskin yang mencapai 37 persen. Ini bahasa yang diperhalus. Seharusnya tegas saja miskin, ya miskin," kata Jokowi.
Jokowi menambahkan, dengan adanya kategori-kategori tersebut, terlihat masih adanya mental asal bapak senang (ABS).
Jokowi menghadiri sarasehan tersebut dengan pengawalan Paspampres. Ia juga menyambangi kediaman mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU), Hasyim Muzadi, yang berdekatan dengan Ponpes.

Gemuruh Tepuk Tangan Saat Ahok Berpantun Buka Final Abang None

Jessi CarinaWakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (paling kanan) saat menghadiri malam final pemilihan Abang None Jakarta 2014, di Plaza Monas, Jakarta Pusat, Sabtu (30/8/2014)

JAKARTA, KOMPAS.com - Tepuk tangan membahana dari pengunjung ajang Final Abang None DKI Jakarta saat Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama membacakan pantun. Pantun-pantun yang dibacakan dengan logat Betawi itu membuka malam final kontes tersebut. 

"Kalo bukan karena kembang kenanga, mana mungkin kumbang menari-nari, kalau bukan karena abang dan none, mana mungkin kita datang kemari," ucap pria yang akrab disapa Ahok itu di area Plaza Monas, Sabtu, (30/8/2014). 

Basuki hadir menggunakan pakaian khas Betawi berwarna hitam dengan peci hitam di kepalanya. Tak hanya satu pantun, Basuki juga membacakan satu buah pantun lagi sebagai tanda dibukanya acara. 

"Bahan atap ketiup angin, bunga kenanga dikira cempaka, dengan mengucap bismillahirrohmanirrohim, pemilihan abang none resmi kita buka," ujar Basuki disambut tepuk tangan penonton yang hadir. 

Festival Abang None DKI Jakarta digelar di Plaza Monas, Jakarta. Sebanyak 36 kontesan dari enam wilayah di DKI Jakarta siap bersaing di ajang ini. Ada 18 pasangan abang dan none, masing-masing wilayah mengirimkan 3 pasangannya. Selain dihadiri oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta, acara juga dihadiri oleh pimpinan SKPD di DKI Jakarta.

PKL Kembali Dirikan Kios di Atas Saluran Air Jalan Jatibaru X

Warta Kota/Panji Baskhara RamadhanPara pedagang di Jalan Jatibaru X, Tanah Abang, Jakarta Pusat kembali menutup saluran air dengan papan. Padahal hal tersebut nantinya akan mempersulit pembersihan saluran air, jika tersumbat, Sabtu (30/08/2014).

JAKARTA, KOMPAS.com - Kios PKL kembali berdiri tegak menutupi saluran air di Jalan Jati Baru X, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Sabtu (30/08/2014). Terpantau saluran air tersebut tidak mengalir alias mampet. Padahal, pada tahun lalu, kios-kios tersebut sudah dibongkar oleh petugas Satpol PP.

Pengamatan Warta Kota, beberapa pedagang sedang berupaya menutup saluran air tersebut dengan papan panjang. Hal itu mereka lakukan untuk dijadikan alat pijakan mereka untuk menaruh barang dagangannya. Saluran air di sepanjang Jalan Jatibaru X ini sudah tertutup rapat dengan bangun dan papan. 

Menurut juru parkir yang tak jauh dari lokasi, Iman (34), saluran tersebut memang sudah tidak bisa mengalir sejak lama. Bangunan yang berupa kios tersebut memang dibangun untuk disewa para pedagang Tanah Abang.

"Mas lihat sendiri aja. Emang enggak bisa ngalir. Ya, kalau hujan gede paling nge-genang dikit doang. Kalau itu kios yang tembok kuning punya pak haji Tirta," katanya.

Tumpukan sampah di selokan, menurut dia, hal biasa. Ia mengaku terkadang ada pedagang yang juga sadar diri membersihkan saluran air, ada juga yang tidak.

"Biasa itu mah. Emang jarang keliatan sih petugas kebersihan. Ya, truk dinas kebersihan mana bisa masuk gang sempit begini. Kaga muatlah. Sadar diri pedagang aja. Bersihin ya bersihin, kaga ya enggak usah," katanya.

Salah seorang pedagang pakaian di Jalan Jati Baru X, Siska (33), mengaku papan yang digunakannya untuk menutup selokan, berfungsi untuk menaruh dagangan. Jika saluran air tak ditutup, dia malah bingung mencari tempar untuk menaruh barang dagangannya.

"Ya emang kenapa? Kan enggak ganggu ini. Ya kalau mau kebuka salurannya, gimana saya mau naro barang dagangannya. Kalau Mas ngasih saya tempat yang bagus, di gedung ya enggak apa-apa. Buka aja nih papannya," ucapnya sambil mengajak membuka papan yang menutup saluran air tersebut.

Warta Kota mencoba mengkonfirmasi hal tersebut ke Camat Tanah Abang, Hidayatullah dan Kepala Suku Dinas Pekerjaan Umum (Kasudin PU) Tata Air Jakarta Pusat, Herning. Namun, hingga kini, belum ada tanggapan baik via pesan singkat ataupun telepon. (Panji Baskhara Ramadhan)

PKL Tutup Saluran Air Jatibaru X, Kasudin PU Tata Air Jakpus Hanya Prihatin

Warta Kota/Panji Baskhara RamadhanBangunan yang mirip rumah toko ukuran 2x2 ini menutup saluran air, di Jalan Jati Baru X, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Hal demikian saluran air tersebut akan sulit dibersihkan, jika mengalami ketersumbatan oleh sampah, Sabtu (30/08/2014).


JAKARTA, KOMPAS.com - Saluran air di Jalan Jatibaru X, Tanah Abang, ditutup PKL yang kembali membangun kios di atasnya. Kasudin PU Tata Air Jakarta Pusat, Herning, hanya mengaku prihatin mendengar hal tersebut.

"Ya, prihatin aja, Pak," kata dia kepada Warta Kota, Sabtu (30/8/2014).

Ketika ditanyai mengenai tindakan apa selanjutnya mengenai hal tersebut, Herning tak berkomentar apapun.

Sementara, Camat Tanah Abang, Hidayatullah, mengaku sudah memperingatkan pihak terkait mengenai maraknya kembali kios PKL di Jalan Jatibaru X, Tanah Abang, Jakarta Pusat. 

"Loh? Soal itu saya sih sudah imbaukan, bahkan saya sudah peringkatkan hal itu ke pihak terkait yaitu Suku Dinas Pekerjaan Umum (Sudin PU) Tata Air Jakarta Pusat," katanya.

Tak hanya itu, ia juga mengatakan tertutupnya saluran air oleh kios dan papan yang guna dijadikan alas pedagang untuk berdagang, berimbas akan sulitnya dibersihkan saluran air tersebut. Jika hujan, lokasi tersebut kerap banjir.

"Ya, kalau hujan sudah pasti menggenang. Itu jalan sempit, sulit dilalui kendaraan karena banyak pedagang. Selain itu, mengundang sampah menumpuk di saluran air. Pasti kalau dibersihkan banyak sampahnya," ucapnya.

Sampai saat ini, ia hanya mengimbau kepada pengunjung pasar Tanah Abang dan pedagang untuk sadar akan kebersihan lingkungan. Selain itu, ia meminta pihak Sudin Tata Air Jakarta Pusat untuk cepat tanggap dalam hal tersebut.

"Saya sudah imbau berkali-kali, sampai saat ini belum ada tanggapan. Jadi ya saya harus bagaimana? Yang terpenting ialah, saya meminta kepada masyarakat dan pedagang lainnya untuk sadar. Tolong sadar akan kebersihan, itu saja," paparnya. 

Ia mengatakan, jika ingin melakukan pembongkaran, harus persetujuan dari Pemerintah Provinsi (Pemprov DKI) Jakarta.  (Panji Baskhara Ramadhan)

Friday, August 29, 2014

Haji Lulung: Sama-sama Pribumi, Kenapa "Diributin" Sih Punya Lamborghini?

JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) DKI Jakarta Abraham Lunggana menampakkan batang hidungnya di ruang kerjanya di Gedung DPRD DKI Jakarta, Kamis (28/8/2014). 

Pada Rabu (27/8/2014) kemarin, pria yang akrab disapa Haji Lulung itu "menghilang" setelah adanya pemberitaan bahwa nomor polisi Lamborghini miliknya tidak terdaftar di Polda Metro Jaya. 

Saat keluar dari ruang kerjanya di lantai 9 Gedung DPRD DKI Jakarta, Lulung tampak tergesa-gesa dan berusaha menghindar dari wartawan. "Apaan nih? Pasti soal Lamborghini lagi dah nih?" kata Lulung. [Baca: Haji Lulung: Di Rumah, Mobil Mewah Gue Ada Lima].

Beberapa wartawan yang telah menunggu dia pun terus mendesak Lulung untuk menjawab pertanyaan yang menyinggung Lamborghini miliknya. 

"Elo pribumi, kita sama-sama pribumi, kenapa pada diributin sih kalau punya Lamborghini? Ha-ha-ha," kata Lulung tertawa seraya meninggalkan kerumunan wartawan. 

Sekadar informasi, sebelumnya, Kepala Sub-Direktorat Penegakan Hukum Direktorat Lantas Polda Metro Jaya AKBP Hendarsonomemastikan bahwa nomor polisi mobil Lamborghini milik Haji Lulung tidak terdaftar. 

AKBP Hendarsono telah memeriksa nomor polisi B 1285 SHP dari Lamborghini Gallardo milik Wakil Ketua DPRD DKI ini. Hasilnya, nomor polisi tersebut tidak terdaftar di Polda Metro Jaya. 

Lulung memarkirkan mobil Lamborghini-nya di halaman Gedung DPRD DKI pada pelantikan 106 anggota DPRD DKI, Senin (25/8/2014). 

JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua DPW Partai Persatuan Pembangunan (PPP) DKI Jakarta Abraham Lunggana kini mengaku mobil mewah Lamborghini yang ditumpanginya saat pelantikan anggota DPRD DKI Jakarta pada Senin (25/8/2014) lalu hanya meminjam temannya. 
 
"Kemarin itu, gue enggak sengaja datang ke pelantikan DPRD habis pulang touring. Jadi sekalian pakai Lamborghini punya temen gueminjem, itu (Lamborghini) bukan punya gue," kata pria yang akrab disapa Lulung itu, di Gedung DPRD DKI Jakarta, Kamis (28/8/2014). 
 
Selain membantah Lamborghini itu kepemilikannya, Lulung juga membantah memiliki lima mobil mewah terparkir di garasinya. Padahal, sebelumnya Lulung mengaku memiliki Lamborghini serta lima mobil mewah lain di tempat tinggalnya.

"Bohong itu gue punya lima mobil, ha-ha-ha. Jangan fitnah, di garasi rumah gue penuh motor Vespa," kata Lulung berseloroh.
 
Kendati menampik memiliki mobil Lamborghini dan mobil mewah lainnya, Lulung tak menampik memiliki mobil Jeep Rubicon berpelat nomor polisi DK 11 HL. Ia pun menantang wartawan untuk mengecek izin pendaftaran kendaraan kepada Polda Metro Jaya. Anggota Fraksi PPP DPRD DKI itu menjamin bahwa mobil Jeep Rubicon-nya tidak bermasalah.

"Ini semua mobil saya ini berkat jerih payah saya mengumpulkan sampah di Tanah Abang. Bersyukurlah pada Allah SWT," kata pria yang pernah berseteru dengan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama itu.

Lulung mengatakan, pelat nomor polisi mobil mewah tersebut telah diurus sejak 6 Agustus 2014 lalu. Lulung menunjukkan Surat Keterangan Pendaftaran Kendaraan Bermotor dengan nomor surat: SKET/0425/VIII/2014/regident (registrasi dan identifikasi).

Kasubdit Regident Ditlantas Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Maulana Hamdan, SIK menandatangani surat tersebut. Di dalam surat itu diterangkan bahwa dealer atas nama The Djakarta Auto, yang berlokasi di Jalan Suryopranoto Nomor 10, Jakarta Pusat, sedang mengurus surat-surat kendaraan Lamborghini Superleggera A/T berwarna hijau keluaran tahun 2013 dengan pelat nomor B 1285 SHP.

"Surat-surat kendaraan bermotor di atas sedang dalam proses pengurusan di Samsat Polda Metro Jaya. Surat keterangan ini dibuat dengan sebenarnya berlaku di wilayah Polda Metro Jaya selama satu bulan, terhitung mulai tanggal dikeluarkan. Apabila telah habis masa berlaku, surat keterangan pendaftaran kendaraan berikut TNKB (tanda nomor kendaraan bermotor) dikembalikan kepada Ditlantas Polda Metro Jaya," tulis Maulana dalam surat keterangan tersebut.

Beberapa waktu lalu, Kepala Sub-Direktorat Penegakan Hukum Direktorat Lantas Polda Metro Jaya AKBP Hendarsono memastikan bahwa nomor polisi mobil Lamborghini milik Haji Lulung tidak terdaftar. Hendarsono telah memeriksa nomor polisi B 1285 SHP dari Lamborghini Gallardo milik Wakil Ketua DPRD DKI ini. Hasilnya, nomor polisi tersebut tidak terdaftar di Polda Metro Jaya.

Lulung memarkirkan mobil Lamborghini di halaman Gedung DPRD DKI pada pelantikan 106 anggota DPRD DKI, Senin (25/8/2014) lalu.

Ini Wakil Rakyat Bermodal Ijazah SMA dan Duit Rp 30 Juta...

JAKARTA, KOMPAS.com - Kekuatan doa akan menemui jalannya. Prinsip itu digenggam erat oleh Elisabeth CH Mailoa (52), wanita asal Kota Ambon, Maluku.

Dengan prinsip tersebut, Elizabeth meneguhkan niat mengabdi kepada warga DKI Jakarta. Bermodal ijazah SMA dan dana Rp 30 juta saja, dia mencalonkan diri menjadi anggota DPRD DKI.

Lahir dan tumbuh di daerah pelosok, ibu anak semata wayang Marcel Mailoa (28) itu mengerti betul arti perjuangan. Meniti karier politik di Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada 1996, dia sekarang adalah Sekretaris II DPC PDI Perjuangan Jakarta Pusat/

Perjalanan politiknya membuat Bu Else, panggilan Elizabeth, kian tertantang mewujudkan harapan perjuangan. Bukan cuma soal dirinya saja, kata dia, melainkan tentang rakyat kecil. 

Ditangkap polisi, ditahan di penjara selama berbulan-bulan hingga tinggal bertahun-tahun hanya di sebuah bedeng, bagi Else bukanlah aib hidup. 

Buat Else, sejarah hidup ini justru merupakan pengingat pengingat dan penanda, dari mana dia berasal dan siapa yang harus diperjuangkanya lewat kursi parlemen.

Berikut ini kutipan wawancara Kompas.com dengan Bu Else di ruang kerjanya, gedung DPRD DKI Jakarta lantai 9, Jalan Kebon Sirih, Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (27/8/2014). 

Tanya (T): Kapan anda memulai karier di dunia politik? 

Jawab (J) : Saya besar di keluarga PDI. Abang sepupu saya menjadi Ketua DPD PDI Maluku. Saya lalu ke Jakarta tahun 1996, sebelum ada peristiwa 27 Juli. Saya akhirnya terlibat di dalamnya sampai sekarang.

T: Apa yang terjadi saat 27 Juli? 
J: Ada dua kubu, Suryadi dan Megawati (Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI-P, red). Saya ada di pro-Mega karena saya tau persis Ibu Mega de facto menjadi ketua umum, tapi masih digoyang oleh pemerintahan Soeharto melalui Suryadi. Saya aktif bangun mimbar bebas sampai saya dipenjara. 

T: Mengapa bisa dipenjara? Bagaimana ceritanya? 
J: Ketika kantor kami di Jalan Diponegoro 58 (Jakarta Pusat) itu diserang sama kubu Suryadi, mereka mau merebut Kantor DPP PDI-P. Kami ada 124 orang di dalam yang tertangkap dan diproses secara hukum. Kami dipenjara selama 4 bulan 10 hari. 

T: Tuduhannya? 
J: Kami dituduh berbuat makar. Aneh memang, kami yang diserang, mereka yang menyerang, kami yang dituduh makar. Sejak saat itulah saya aktif sampai sekarang dengan membentuk Forum Kerukunan 124.

T: Kejadian itu yang membuat Bu Else masuk ke PDI-P? 
J: Iya. Tapi saat itu sampai lumayan lama sekali, saya belum masuk karena belum punya kartu anggota. Hanya simpatisanlah jatuhnya. Nah, pada 2010, saya yang sudah berjuang dengan Ibu Mega akhirnya masuk ke dalam struktur DPC PDI-P Jakarta Pusat. Saya menjadi Sekretaris II DPC. 

Mengubah nasib

T: Bagaimana lobi sehingga bisa menjadi Sekretaris DPC?
J: Kebetulan, saya sudah lama jadi kenal, lobinya enak. Saya waktu itu lobi Pak Pras (Prasetio Edi Marsudi, Wakil Ketua DPD PDI-P DKI Jakarta, red). "Bang, saya mau mengubah nasib.". 

Akhirnya masuk. Meski, saat pembentukan sempat deadlock dan diambilalih DPP. Wah, saya senang, karena jaringan saya di DPP lebih banyak. Akhirnya saya masuk menjadi sekretaris. 

T: Lalu bagaimana awal mula jadi calon legislatif? 
J: Seperti biasa, melalui penjaringan. Kami diminta melengkapi administrasi, antara lain KTP, Kartu Anggota dan lain-lain. Proses itu saya jalani sejak Januari 2014. 

T: Dari Jakarta Pusat, ada berapa yang daftar? 
J : Ada lima orang. Semuanya lolos ferivikasi. Saya dapat nomor urut empat. 

T: Nomor urut empat cukup strategis. Bagaimana Bu Else dapat nomor urut itu?
J: Ya dilihat dari posisi. Pak Pras kan DPD dapat nomor satu, Pak Pandapotan kan Bendahara DPC dapat nomor urut dua, Bu Herlina dari DPD nomor urut tiga, dan saya Sekretaris II ya nomor empat. Kebetulan ketua DPC dan Sekretaris I saya tidak nyalon. Beruntung juga. 

T: Berapa modal uang untuk nyaleg
J: Rp 30 juta sama ijazah SMA lulusan tahun 1982.

T: Kok sedikit sekali? 
J: Ya bedalah. Saya siapa?

T: Uang siapa saja itu? 
J: Ada teman yang nyumbang Rp 1 juta, Rp 5 juta, ada juga yang Rp 10 juta. Saya kumpulin saja semuanya. 

T: Modal pribadi? 
J: Sekitar Rp 5 juta. Modal saya hanya untuk kelengkapan administrasi. Sisanya untuk pembiayaan kampanye, mulai dari cetak banner, stiker, kartu nama, sampai bikin pengobatan gratis di dua titik. 

T: Teknik kampanye seperti apa yang Bu Else lakukan? 
J: Kebetulan saya aktivis gaul. Jadi kawan-kawan saja yang bantu. Mereka ngerti saya dan enggak minta finansial. Mereka bantu saya nothing to lose. Saya juga blusukan ke dapil. Warga senang didatangi saya. Mereka lebih senang wakil rakyat yang turun ke mereka. Blusukan Jokowi diterapkan di saya. 

T: Banyak laporan soal 'serangan fajar' saat pencoblosan, menurut anda? 
J: Ndaklah. Saya enggak bisa serangan fajar. Hehehe. Saya dengan doa saja. Enggak perlu serangan fajar. Kita yakin Tuhan bantu. Hasilnya juga terlihat, hampir di seluruh TPS, pasti ada satu suara untuk saya. Saya sendiri dapat 7.814 suara. Dari lima nomor urut, yang terpilih nomor urut satu, dua, dan empat. Urutan ketiga kalah suara dengan saya. 

T: Sejak terpilih menjadi anggota dewan, Bu Else tinggal di mana?
J: Ya, saya memang harus punya rumah. Selama ini kan saya tinggal di bekas Kantor DPP PDI-P, di bedeng begitu. Nanti saya ditertawai, masak anggota dewan enggak punya rumah. Nanti saya nyicil rumahlah. 

Rencana ke depan

T: Apa yang akan Bu Else lakukan di DPRD DKI Jakarta? 
J: Saya dan teman-teman mau berjuang untuk kesejahteraan rakyat. Caranya, mengawal program Pak Jokowi, Kartu Jakarta Pintar dan Kartu Jakarta Sehat. Makanya saya mau masuk Komisi E, bidang kesehatan dan pendidikan. Saya berharap bisa bantu mereka yang sakit dan tidak bisa sekolah. 

T: Tantangan terberat wakil rakyat itu korupsi. Bagaimana Bu Else menghadapinya? 
J: Saya dari dulu tidak pernah berjanji kepada konstituen. Tapi kalau korupsi, saya tidak. Saya tahu persis KPK sangat ketat. Mau melangkah sedikit saja sudah terbaca. Kita menjaga tidak korupsi bukan hanya untuk diri kita, tapi juga untuk partai.

T: Banyak juga toh kader PDI-P yang tersangkut kasus korupsi? 
J: Ya itu, mereka biarkanlah mereka. Tapi saya menjaga jati diri saya dan jati diri partai. Ibu Mega pernah bilang, jangan pernah main-main. Kalau main-main itu tanggung jawab sendiri-sendiri, bukan partai. 

T: Ada rencana untuk mengembalikan modal kampanye Rp 30 juta? 
J: Ada. Tapi kami terima gaji saja. Masak lima tahun enggak balik? Hahaha. 

T: Terakhir, bagaimana Bu Else mengakomodir kebutuhan konstituen? 
J: Kalau konstituen mau bertemu, silakan datang, saya selalu buka pintu. Ingat, kita ini berasal dari mereka juga.