Friday, June 17, 2016

Suara Golkar, Suara Ahok

Konstelasi politik pasca reformasi melahirkan situasi yang jauh berbeda dari sebelumnya. Golkar sebagai partai yang sekian lama dominan di bawah rezim Orde Baru perlahan namun pasti menuju perolehan dukungan dengan konversi suara yang semakin menurun secara drastis. Dalam momentum Pemilihan Legislatif (Pileg) 1999, Partai Golkar mengawali perolehan 22,44% suara. Berlanjut pada 2004 (21,62%), 2009 (14,45%) hingga perhelatan terbaru pada 2014, Partai Golkar hanya mampu meraih 14,75% suara.

Terlalu banyak faktor yang bisa dikemukakan sebagai penyebab utama penurunan suara tersebut. Cukup banyak analisis yang berkembang, baik dari kalangan internal partai maupun kalangan eksternal yang sejak lama memerhatikan pola gerakan politik Partai Golkar. Namun yang pasti, sejauh faktor dan analisa mengemuka dan berkembang, sejauh itu pula internal partai merespons dengan berbagai sikap. Karakteristik rezim kekuasaan cukup memberi pengaruh terkait bagaimana menyikapi realitas dan dinamika politik yang sedang berlangsung.

Partai politik sejatinya sebagai wadah candradimuka bagi proyek percontohan pengelolaan aspirasi publik. Karena pada prinsipnya, kelahiran partai politik ditujukan selain institusi perimbangan kekuasaan, juga demi mengakselerasi kepentingan publik agar terwujud dalam kenyataan. Tidak sekadar termaktub dalam program dan kebijakan, namun tidak kunjung terealisasi.

Boleh jadi, atas dasar itu, kepemimpinan Aburizal Bakrie mengumandangkan jargon "Suara Golkar, Suara Rakyat". Kesadaran akan penurunan kepercayaan publik terhadap partai politik membuat masa-masa awal kepengurusan ARB dipenuhi idealisme. Suara publik harus kembali direngkuh dan diraih. Kepercayaan publik harus dikembalikan dengan menempatkan Partai Golkar sebagai institusi politik Garda Depan dengan segudang kebijakan dan program yang merakyat.

Namun, dinamika politik berkata lain. Perhelatan politik 2014 menjadi ujian ketajaman staregi dan kebijakan politik ARB. Pada kenyataannya, suara Partai Golkar mengalami stagnansi di kala partai-partai baru bermunculan dan justru memperoleh tempat penting di hati publik. Target-target politik Partai Golkar tidak sepenuhnya tercapai (untuk mengatakan tidak sama sekali). Janji-janji politik ARB tidak berjalan maksimal di tengah harapan perubahan dan peningkatan yang justru semakin meninggi.

Tentu saja kita tidak bermaksud mengungkit kebijakan masa lalu di saat Partai Golkar baru saja melalui dinamika yang cukup kompleks dan pelik. Namun kebijakan dan strategi politik masa depan tidak bisa dilepaskan dengan pelajaran yang diwariskan masa-masa sebelumnya.

Momentum Pembuktian

Lebih setahun lamanya dinamika dan kompleksitas internal politik Partai Golkar bergejolak. Diiringi konflik yang cukup menegangkan, internal partai seakan mati suri. Program dan kebijakan partai lumpuh. Jika pun terlihat, hanya sebatas seremonial.

Meski demikian, kehendak untuk kembali pada situasi yang baik dan mapan tidak pernah pupus. Sebagai partai besar yang cukup lama mengenyam asam garamnya politik, internal Partai Golkar senantiasa merindukan persatuan dan kesatuan, menantikan kembali gaung mesin partai yang tidak tersentuh dalam beberapa waktu. Hasilnya, gairah tersebut terealisasi. Ternyata kesadaran publik tentang Partai Golkar sebagai aset bangsa lebih besar ketimbang suara-suara sinis yang selama ini mungkin berbahagia dengan kondisi partai warisan orde baru ini.

Tidak terlepas dari kebesaran hati dan kecintaan pada partai yang selama ini dinakhodainya, ARB menuruti keinginan publik untuk mengembalikan kejayaan Partai Golkar dengan terlebih dahulu mengikis perbedaan dan memupuk persatuan melalui perhelatan Munas Luar Biasa. Musyawarah Nasional Luar Biasa yang berlangsung pada awal Mei 2016 telah melahirkan nakhoda baru yang diterima dan diamini oleh semua pihak.

Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, Setya Novanto hadir di tengah suasana harapan yang sama kepada Partai Golkar, harapan tentang Partai Golkar yang sejalan dengan aspirasi rakyat, berjalan sesuai dengan kehendak rakyat hingga tercermin dalam perolehan suara rakyat dalam setiap kontestasi politik. Kiranya itulah yang tercermin dalam slogan "Suara Golkar, Suara Rakyat". Slogan yang sejatinya bukan sekadar menghiasi bibir para politisi Partai Golkar dalam setiap momen seremonial, namun lebih dari itu, slogan yang setiap diucapkan akan menggetarkan jiwa para politisi dan memantik kesadaran tentang kiprah dan peran partai politik yang sesungguhnya.

Tidak lama lagi slogan tersebut akan kembali menuai ujian. Kontestasi politik Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sudah di depan mata. Salah satu daerah yang akan menyelenggarakan Pilkada tersebut adalah Provinsi DKI Jakarta. Pilkada DKI Jakarta merupakan gelaran yang memiliki keunikan tersendiri, mengingat selain wilayah ini merupakan Ibu Kota Negara yang tentu saja menyita perhatian publik melalui media massa, figur Basuki Tjahaja Purnama terkesan fenomenal dengan gaya dan karakter politiknya yang terkesan berseberangan dengan kepentingan partai politik.

Hadirnya relawan Ahok yang juga dikenal dengan "Teman Ahok" semakin mengentalkan kesan bahwa partai politik tidak lagi menarik untuk digeluti bagi sebagian besar masyarakat. Aroma transaksional dan kesan pragmatisme yang lekat dengan kehidupan kepartaian yang belum sepenuhnya hilang membuat publik menggalang dukungan sendiri untuk mengusung calon pilihannya.

Dalam konteks ini, partai politik sudah mengalami reduksi pemaknaan yang cukup jauh. Ketidakpercayaan pada partai politik telah mencapai titik nadir, sehingga membutuhkan intropeksi dari institusi partai politik itu sendiri, selain pihak-pihak lain yang juga bertanggung jawab atas kondisi ini. Terlepas dari itu, dalam suasana yang baru dengan cobaan serta ujian yang telah terjadi, Partai Golkar dapat mengambil pelajaran tentang bagaimana mengembalikan suara rakyat yang selama ini menjauh dan menghilang.

Dukungan Partai Golkar DKI Jakarta pada figur Ahok yang disampaikan pada 14 Juni 2016 di Jakarta menjadi awal bagi komitmen Partai Golkar di bawah kepemimpinan Setya Novanto. Saat ini, figur Ahok tidak lagi nampak sebagai person, namun telah meng-institusi sebagai bentuk perlawanan kepada pola dan karakter kepartaian itu sendiri. Dengan demikian, Ahok menjadi sebuah arus besar yang mungkin saja mampu melampui kebesaran dan kedigdayaan partai politik itu sendiri.

Karena itu, dukungan kepada Ahok bukanlah sebentuk pragmatisme partai di tengah minimnya kader partai yang layak untuk diusung, karena sesungguhnya Ahok sendiri adalah kader yang bahkan pernah menjabat sebagai Aggota DPR RI Periode 2009-2014 dari Partai Golkar. Partai Golkar yang bermaksud mengembalikan suara rakyat pada dasarnya juga telah melakukan lompatan besar yang penting demi kepentingan partai politik secara umum.

Satu juta pemilih yang digadang Teman Ahok melalui kumpulan KTP adalah pemilih potensial yang seharusnya memperoleh sentuhan politik kepartaian. Sentuhan tersebut adalah bagian dari tanggung jawab konstitusional, di mana Partai Politik melakukan fungsi-fungsi rekruitmen sebagai bagian dari tugas dan fungsinya. Berdiri sendiri dan berhadapan dengan kepentingan rakyat adalah kerugian bagi partai politik itu sendiri.


*) Ketua [PLT] DPD Partai Golkar DKI Jakarta/Ketua Koordinator Bidang Polhukam DPP Partai Golkar 

No comments:

Post a Comment