Kebijakan Gubernur DKI Jakarta
Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok tentang kontribusi tambahan pada pengembang dinilai sebagai inovasi. Kontribusi tambahan itu bukan bagian dari hibah ataupun pungutan.
Menurut Mantan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) RI, Profesor Harjono, kebijakan kontribusi tambahan oleh Ahok bukan konsep pungutan, melainkan beban pada pengembang.
"Oleh karena itu, kalau memberi beban dan bukan pungutan, itu tidak bisa diklasifikasikan dan ditundukan kepada undang-undang pungutan," kata Harjono dalam diskusi di The Indonesian Institute, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis (9/6/2016).
Harjono juga menilai, kebijakan kontribusi tambahan oleh Ahok bukan sebagai hibah. Pasalnya, kontribusi ini memiliki prosedur tersendiri. Sehingga tidak tergolong sebagai hibah.
Harjono lebih melihat kontribusi tambahan sebagai inovasi. Sebab, tak ada ketentuan yang dilanggar oleh Ahok.
"Hibah bukan, pungutan bukan, that's innovation," ujar Harjono.
Kontribusi tambahan merupakan pungutan yang rencananya akan dikenakan terhadap semua pengembang yang terlibat dalam
reklamasi di Pantai Utara Jakarta.
Pengenaan kontribusi tambahan sudah diusulkan dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta yang dibahas di DPRD DKI. Besarannya mencapai 15 persen.
Namun, pembahasan raperda yang menjadi payung hukum untuk kontribusi tambahan itu terhenti pasca-tertangkapnya Ketua Komisi D Mohamad Sanusi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ia ditangkap seusai menerima uang suap dari Direktur Utama PT Agung Podomoro Land
Ariesman Widjaja. Uang suap yang diberikan diduga terkait keinginan pengembang agar kontribusi tambahan hanya berkisar 5 persen.
No comments:
Post a Comment