Ribut-ribut aturan kepala daerah yang menjadi incumbent di pilkada wajib cuti, terus bergulir. Calon petahana Pilgub DKI, Basuki Tjahaja Purnama, tetap ngotot menolak cuti beberapa saat dari jabatannya sebagai gubernur DKI Jakarta.
Ahok, sapaan Basuki, berdalih dirinya harus mengawal pembahasan RAPBD 2017 agar tak ada lagi dana siluman. Alasan lainnya, Ahok mengaku disumpah untuk menjabat DKI selama 60 bulan. Artinya, jika dia mengambil cuti selama 4 bulan, berarti tugasnya hanya 56 bulan dan dianggapnya melanggar sumpah konstitusi.
Saking ribetnya ogah absen dari Balai Kota, Ahok sampai mengajukan judicial review ayat 3 Pasal 70 Undang-undang 10 tahun 2016 tentang pilkada. Salah satu aturan itu mengharuskan kepala daerah cuti karena begitu mendaftar pilkada, incumbent harus melepas segala fasilitas yang diberikan negara.
Melihat sikap ngotot Ahok, Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo menegaskan sebaiknya kepala daerah manut pada undang-undang.
"Tanyakan dia (Ahok) saja. Saya inikan hanya berpegang pada undang-undang saja," kata Tjahjo di kampus IPDN, Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Senin (8/8) kemarin.
Ditambahkan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Sumarsono mengatakan, surat cuti harus disertakan calon kepala daerah incumbent saat mendaftar ke KPU untuk mengikuti Pilkada. Sebab, calon incumbent harus memisahkan antara dirinya sebagai seorang kepala daerah dan pasangan calon.
"Kalau Ahok tidak mau cuti boleh saja. Tetap saja menjadi Gubernur. Kalau mau maju lagi harus cuti," jelas Sumarsono.
Nantinya, jabatan Ahok bisa diisi wakil gubernur bisa nanti ditunjuk sebagai pelaksana tugas. Jika wagub mencalonkan diri juga maka akan diisi oleh Sekretaris Daerah. Jika ketiganya maju di Pilkada maka akan diserahkan kepada Presiden.
Menanggapi polemik cuti kepala daerah, Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat, ternyata punya pandangan yang sama dengan Ahok. Menurutnya, incumbent tak perlu melakukan cuti untuk kampanye sebab setiap hari dia sudah memamerkan kinerjanya.
"Kalau incumbent, itu kan setiap hari sebetulnya kampanye kalau mau jujur. Kampanye kan dilihat dari bagaimana kinerjanya. Enggak usah ngomong-ngomong kan. Sekarang enggak musim lagi kampanye 'pilih saya, saya yang terbaik', kan enggak ada," beber Djarot di Balai Kota Jakarta, Senin (8/8).
Mantan Wali Kota Blitar itu mengaku, petahana seperti dirinya hanya perlu bekerja dengan baik.
"Kerja bagus itu kampanye. Tahu enggak seorang kepala daerah itu pada saat dia terpilih pertama kali, besoknya itu mesti kampanye. Kampanyenya dalam bentuk apa? Apa kinerjanya ya, kemudian bagaimana integritas moralnya, bagaimana prestasinya, apa hasilnya," terang Djarot.
Lagipula, lanjut Djarot, cuti selama beberapa bulan seperti itu sangat tidak efektif. Apalagi, jadwal cuti kampanye di DKI berdekatan dengan musim penghujan yang sangat rentan. Terlebih ada jadwal penyusunan anggaran di sana.
"Masa-masa itu kan masa-masa cukup rawan. Januari, Februari hujan deres, ada penyusunan anggaran, ya kita berharap pilkada itu kemudian jangan sampai mengorbankan kepentingan masyarakat," papar Djarot.
"Kami dulu kan 2005 juga maju sebagai wali kota juga tidak cuti segitu lama, empat bulan itu lama, waktu itu cuma cuti pada saat kampanye misalkan hari apa hari apa, itu boleh kita ambil boleh tidak," sambungnya.
Djarot menambahkan, kampanye di lapangan besar misalnya hanya akan membuat macet jalan. Lagi pula kampanye semacam itu bisa dihadiri oleh banyak orang bukan karena calonnya melainkan untuk bisa melihat artis yang dihadirkan dalam kampanye itu.
"Sekarang kan udah enggak musim lagi kampanye di lapangan besar, bikin macet ya, yang dilihat apa kalau di kampanye besar-besar itu? Penyanyinya ya kan, orangnya gimana?" ungkap Djarot.
Lantas apakah akhir uji materi Pasal 70 UU No 10 tahun 2016 akan diputus sah oleh MK? Kita tunggu saja.
No comments:
Post a Comment