Polemik kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras masih terus bergulir. Hingga saat ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memeriksa sedikitnya 50 saksi baik dari swasta, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, ahli keuangan maupun pertanahan.
Pengamat Hukum Tata Negara, Margarito Kamis menilai kasus Sumber Waras ini membuktikan bahwa sistem yang ada di Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta tidak berjalan atau lumpuh. Tidak hanya itu, Pemda DKI disebut sebagai pemerintah bayaran yang korup.
"Gila kalau di kasus Sumber Waras itu enggak ada korupsi. Terlalu gampang kalau mau melihat ada tindak korupsinya," kata Margarito dalam diskusi dengan topik 'Dapatkah Ahok membangun DKI di luar mekanisme APBD' di Jalan Tebet Timur Dalam Raya Nomor 43, Jakarta Selatan, Kamis (19/5).
Margarito mempertanyakan langkah KPK dalam mengusut kasus Sumber Waras ini. Menurut dia, nomor pajak tanah yang berlokasi di Kiai Tapa dan di Jalan Tomang Utara sudah bisa menjadi bukti bahwa ada kejanggalan yang terjadi. Dan itu sudah bisa ditindaklanjuti.
"Di situ (nomor pajak) sudah salah tapi saya mesti jujur bilang bahwa di kasus Sumber Waras pasti terungkap. Yakin saya terungkap. Kecuali ada jalan lain luar biasa. Nah jalan luar biasa itu yang kita cermati ada pertemuan sengaja maupun tidak dua pimpinan KPK dengan Presiden Jokowi di Korea itu," ungkap dia.
Kata dia, pada dasarnya kasus Sumber Waras seharusnya sudah dinaikkan ke tahap penyidikan. Tidak ada aturan hukum yang bisa membenarkan bahwa Ahok telah melalui prosedur yang tepat.
Untuk diketahui, pembelian lahan RS Sumber Waras itu merupakan inisiatif Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Pemprov sendiri telah mengalokasikan dana sebesar Rp 1,5 triliun untuk mengambil alih lahan tersebut dari Yayasan RS Sumber Waras, untuk kemudian dialihfungsikan sebagai rumah sakit khusus kanker.
Pembelian ini menuai polemik ketika Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya dugaan penggelembungan harga hingga mencapai Rp 191 miliar. Di mana, Pemprov mematok Nilai jual objek pajak (NJOP) di lokasi tersebut sebesar Rp 20 juta per meter persegi.
Dalam hasil audit BPK, lokasi lahan Sumber Waras yang dibeli Pemprov DKI sebenarnya tidak berada di Jalan Kiai Tapa, melainkan Jalan Tomang Utara. Temuan itu langsung dibantah Ahok. Dia meyakini, tanah seluas 3,6 hektare tersebut berada di Jalan Kiai Tapa.
Dalam penelusuran BPK, tanah yang berlokasi di Jalan Tomang Utara memiliki nilai jual yang berbeda dengan bangunan yang bersinggungan langsung dengan Jalan Kiai Tapa. Nilai jual yang diyakini BPK hanya sebesar Rp 7 juta meter persegi.
Berlawanan dengan BPK, Ahok mengklaim NJOP mengikuti Jalan Kiai Tapa. Di mana besarannya ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, yang besarnya mencapai Rp 20,7 juta.
BPK juga menyebut pembelian lahan Sumber Waras tersebut sangat mahal dan merugikan negara sampai Rp 191 miliar. Jumlah ini terlampau besar, apalagi PT Ciputra Karya Utama pernah menawar dengan harga cukup rendah, yakni Rp 564 miliar.
Sedangkan Ahok menyebut tawaran Ciputra itu berlangsung ketika NJOP masih sebesar Rp 12,2 juta pada 2013 lalu. Nilai tersebut naik hingga 80 persen setahun berikutnya. Total dana yang dikeluarkan Pemprov untuk mengambil alih lahan itu sebesar Rp 755 miliar.
Investigasi BPK menyebut Pemprov DKI tidak cermat dalam membeli lahan Sumber Waras. Sebab, tidak dilakukan pengkajian lebih dahulu, maupun perencanaan matang.
Sementara, Ahok mengaku sudah merencanakannya dan membahasnya dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta dan disetujui. Rencana pembelian itu tercantum dalam KUA-PPAS 2014 perubahan yang ditandatangani empat pimpinan DPRD, yakni Ferrial Sofyan, Triwisaksana, Boy Bernadi Sadikin, dan Lulung Lunggana.
No comments:
Post a Comment