Monday, May 30, 2016

Merasa 'Terhina' Dibayar Rp 10 Ribu, Alasan RW 12 Menolak Qlue

 Pengurus RW 12 Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat, menolak menggunakan aplikasi Qlue untuk melaporkan kinerjanya. Mereka merasa 'terhina' dibayar Rp 10 ribu per laporan oleh Pemerintah DKI Jakarta.

"Ketua RW merasa terhina karena dibayar Rp 10 ribu. Pekerjaan ini (sebenarnya) seperti pengabdian sosial, tidak dibayar-bayar," ujar Wakil Ketua RW 12, Boli Fiahaya, saat ditemui di RW 12 Kelurahan Kebon Melati, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin (30/5/2016). 

Seperti diketahui ketua RT dan RW diwajibkan melaporkan kegiatan di kawasan mereka sehari tiga laporan ke Qlue. Satu laporan dihargai Rp 10 ribu. Laporan itu dianggap sebagai kinerja untuk mendapatkan uang operasional Rp 975 ribu (RT) dan Rp 1,2 juta (RW) per bulan. 

Boli ingin sistem pelaporan dikembalikan ke sistem lama yaitu melapor ke Lurah lewat kertas dan tidak melalui aplikasi. "Kita intinya menolak. Tidak mau menggunakan yang baru itu (SK Gubernur Nomor 903 Tahun 2016 tentang Pemberian Uang Penyelenggaraan Tugas serta Fungsi RT dan RW, yang mengharuskan pelaporan lewat Qlue-red). Tidak mau melakukan pelaporan yang 3 kali sehari," tegas Boli.

Tidak hanya soal upah, Boli menyebut masalah waktu menjadi kendala bagi pengurus RW 12. Pengurus RW lebih banyak menghabiskan waktu dari pagi hingga sore hari untuk mencari nafkah sehingga tidak cukup waktu untuk melaporkan kegiatan di daerahnya tiga kali sehari ke Qlue. Apalagi yang dilaporkan adalah kegiatan yang bersifat kelembagaan. "Kami tidak selalu berada di tempat," kata Boli yang juga seorang pedagang ini.


Selain itu, ketua-ketua RT juga telah melaporkan hasil kegiatan mereka di Kelurahan Kebon Melati dan jika harus melaporkan juga lewat Qlue, maka berarti laporan dilakukan dua kali sehingga tidak efektif. "Ini jadi kerjaan sendiri lagi," cetus Boli. 

Boli menolak menggunakan aplikasi khusus Qlue bagi para ketua RW dan Ketua RT bukan karena masalah teknologi. 

"Kami menolak disebut gagap teknologi, bukan karena tidak bisa menggunakan Qlue. Saya sudah menggunakan Qlue sebelum disuruh Anda," kata Boli sambil memperlihatkan aplikasi Qlue di ponsel Androidnya.

Boli juga mengkritisi warga pelapor di Qlue yang menggunakan nama palsu. "Kalau dlihat Qlue itu, lihat namanya, bukan nama asli, kalau memang gentle ya pakailah nama asli," ujarnya.

Sementara itu, Ketua RT 11 RW 2 Kelurahan Kebon Melati, Kasiah, meminta dana operasional untuk RT dan RW yang lapor ke Qlue agar digunakan untuk kegiatan kelembagaan.

"Jadi bukan untuk insentif pribadi RW dan RT," ujarnya.

Kasiah juga mengamini pernyataan dari Boli bahwa setiap RT selalu melaporkan hasil kegiatannya ke pihak kelurahan. 

Dia juga menyebut seringkali ada laporan-laporan palsu yang masuk ke Qlue. "Pernah ada masuk di Kramat Sentiong ada laporan yang masuk 3 kali. Saat dicek ke lapangan oleh petugas, tidak ada laporan yang disebutkan," kata Kasiah mencontohkan.

Pemprov DKI Jakarta memanfaatkan aplikasi Qlue untuk mendukung programpaperless sebagai Smart City. Selama ini dalam sebulan tumpukan kertas laporan RT/RW menggunung di kelurahan. Nah, Pemprov ingin menyederhanakan dengan memakai aplikasi yang menurut Ahok tinggal "pencet doang". Jumlah RT di JAkarta sebanyak 19.478 dan RW sebanyak 1.950 yang tersebar di 267 kelurahan. Setiap laporan yang masuk di Qlue dipantau oleh pekerja Jakarta Smart City untuk ditindaklanjuti. 

No comments:

Post a Comment