Tuesday, May 31, 2016

DPR Diminta Ikuti Putusan MK soal Anggota Dewan Harus Mudur jika Maju Pilkada

 Pakar psikologi politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk mengatakan bahwa anggota Dewan yang ingin berpartisipasi dalam Pilkada harus mengikuti aturan yang berlaku.
Hal itu sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah.
"Kalau dalam perspektif tata negara, seharusnya mengacu ke putusan MK," kata Hamdi saat dihubungi, Selasa (31/5/2016).
"Kalau ada perbedaan pendapat dalam menerjemahkan peraturan, perbedaan tafsir tentang undang-undang, maka rujukan paling utama itu kan MK," tambah dia.
Hamdi mengatakan, putusan MK sudah semestinya diikuti karena MK merupakan lembaga penegak hukum konstitusional tertinggi.
"MK dalam memutuskan pasti sudah mempertimbangkan semua sudut. Makanya dihormati saja putusan MK," kata dia.
Di sisi lain, lanjut Hamdi, MK juga harus bersikap konsisten terkait revisi undang-undang tersebut.
"Katakanlah itu berhasil dalam proses politiknya disetujui mayoritas Dewan dan bisa juga di lobi di pemerintah. Kemudian diundang-undangkan. Setelah itu, sehari kemudian, saya sebagai masyarakat sipil atau pun siapa pun mengajukan gugatan ke MK. Kalau MK konsisten dengan sikapnya, itu dia kabulkan, artinya pasal itu tidak berlaku juga," kata Hamdi.
Ketua Komisi II Rambe Kamarul Zaman sebelumnya mengatakan, DPR dan pemerintah belum menyepakati aturan anggota Dewan yang ingin maju dalam Pilkada. Hal itu terkait apakah harus mundur atau cukup cuti.
(baca: Komisi II: DPR-Pemerintah Belum Sepakat soal Aturan Anggota DPR Mundur jika Maju Pilkada)

Pemerintah tetap mengusulkan anggota Dewan harus mundur ketika ditetapkan sebagai calon kepala daerah. (Baca: Mendagri: Anggota DPR, DPD, dan DPRD Harus Mundur jika Maju pada Pilkada)

Rambe menjelaskan, fraksi-fraksi masih berbeda pendapat, ada yang menyatakan apa pun keputusannya diserahkan kepada pemerintah yang melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi.
Pendapat fraksi lain, menurut dia, ada yang mengusulkan agar tidak melanggar putusan MK, diusulkan anggota DPR yang menduduki jabatan di alat kelengkapan dewan harus mundur.
Anggota Komisi II DPR Hetifah Sjafudian mengatakan, putusan MK masih dapat berubah jika kembali diajukan uji materi.
Putusan MK, kata dia, pada dasarnya juga mempertimbangkan perkembangan situasi logis yang ada saat itu.
Dalam putusannya, MK sebelumnya mewajibkan anggota Dewan yang telah ditetapkan sebagai calon kepala daerah untuk mundur dari jabatannya.
Hal itu bertujuan untuk memberikan rasa keadilan bagi pemangku jabatan di instansi pemerintah lainnya yang diwajibkan untuk melakukan hal yang sama.
MK berpandangan bahwa Pasal 7 huruf s Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah bertentangan dengan UUD 1945. Pasal tersebut bersifat diskriminatif, menunjukkan adanya pembedaan syarat yang merugikan hak konstitusional warga negara.
Bunyi pasal tersebut adalah, "Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: memberitahukan pencalonannya sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi anggota DPR, kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah bagi anggota DPD, atau kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bagi anggota DPRD."
MK menilai bahwa kewajiban mengundurkan diri dari jabatan saat mencalonkan diri sebagai kepala daerah, seperti yang dikenakan pada pegawai negeri sipil, anggota TNI/Polri, serta pejabat dan pegawai BUMN/BUMD, juga seharusnya berlaku bagi legislator yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

No comments:

Post a Comment