Monday, May 23, 2016

Trotoar Diokupasi dan Belum Layak

Okupasi trotoar untuk parkir, pedagang kaki lima, dan fungsi lain masih marak terjadi di Jakarta. Selain kondisi fisiknya belum layak, antara lain rusak, sempit, dan penuh rintangan, jumlahnya dinilai masih jauh dari ideal.

Presidium Koalisi Pejalan Kaki Ahmad Safrudin, Jumat (20/5), menyatakan, ruas jalan yang memiliki fasilitas trotoar di Jakarta baru sekitar 400 kilometer, atau hanya 6,2 persen dari total panjang jalan di Ibu Kota sekitar 6.400 km. Dari jumlah yang masih kecil itu, 80 persen di antaranya diokupasi untuk pedagang, parkir, pos, dan berbagai benda, seperti pot bunga, tiang listrik, dan telepon.

Trotoar di Jalan KH Agus Salim (Jalan Sabang) di Jakarta Pusat, misalnya, banyak dipakai untuk parkir kendaraan. Sementara di Jalan Jatibaru Raya, Jakarta Pusat, pejalan kaki harus berebut tempat dengan pengojek, sopir angkutan, dan pedagang kaki lima yang memarkir kendaraan dan menggelar dagangan di trotoar.

"Idealnya semua jalan memiliki fasilitas trotoar, tetapi setidaknya 67-70 persen dari total panjang jalan raya punya sehingga nyaman untuk jalan kaki. Jumlah pejalan kaki di Jakarta sebenarnya tak sedikit, tetapi fasilitas untuk mereka tak kunjung layak," kata Safrudin.

Ia mengutip hasil survei mobilitas warga Jakarta oleh PT Pembangunan Jaya tahun 2005, yang menyebutkan sekitar 35 persen dari total 21 juta perjalanan harian di Jakarta dilakukan dengan jalan kaki.

Menurut Safrudin, kenaikan jumlah pengguna kereta rel listrik (KRL) dari wilayah Bekasi, Depok, Bogor, Tangerang Selatan, dan Tangerang ke Jakarta turut menambah pejalan kaki. Fenomena itu antara lain terlihat di sekitar Stasiun Tebet, Sudirman, Juanda, dan Gondangdia.

Anggaran terbatas

Kepala Dinas Bina Marga DKI Jakarta Yuzmada Faisal membenarkan, trotoar Jakarta belum tertangani dengan baik. Selain soal okupasi untuk parkir, PKL, dan utilitas, seperti tiang telepon dan listrik, perbaikan terus berkejaran dengan kerusakan karena faktor usia.

"Anggaran yang tersedia hanya cukup untuk sekitar 50 km panjang trotoar per tahun. Artinya, jika total panjangnya 2.500 km, butuh waktu 50 tahun untuk menyelesaikan perbaikan. Saya kira butuh terobosan untuk mengatasi hal itu," ujarnya.

Yuzmada mengusulkan perbaikan dan pembangunan trotoar dengan dana partisipasi. Dana itu bisa diperoleh antara lain dari kewajiban pengembang atau pengelola gedung ketika memperpanjang sertifikat layak fungsi (SLF) gedung yang harus diperpanjang secara periodik.

"Banyak negara maju menerapkan metode itu. Trotoar di depan gedung di kawasan komersial jadi tanggung jawab pengelola gedung. Dengan demikian, warga kota turut menjaga karena merasa memiliki," ujarnya.

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengaku setuju dengan ide tersebut. Seperti kewajiban yang dikenakan kepada pengelola gedung yang meminta tambahan koefisien luas bangunan, hal serupa bisa diterapkan kepada pengelola gedung yang memohon izin perpanjangan atau penerbitan SLF. (MKN)

No comments:

Post a Comment