Friday, May 20, 2016

Penyapu Jalan Memburu Masa Depan

Oleh Irene Sarwindaningrum dan Mukhamad Kurniawan

Bagi sejumlah penyapu jalan Jakarta yang berusia di atas 45 tahun, memperoleh ijazah setara SD merupakan perjuangan. Ijazah itu menjadi penentu kelanjutan penghidupan mereka. Demi itulah mereka mengikuti ujian, satu ruangan bersama anak belasan tahun.

Diawali keengganan, mereka menghadapi rasa malu dan tidak percaya diri. Bermodal kemeja putih pinjaman hingga mencicil uang sekolah, mereka berupaya menggapai ijazah itu.

Rahim (48), petugas kontrak Dinas Kebersihan DKI Jakarta, berharap-harap cemas menanti hasil ujiannya, Kamis (19/5). Sehari sebelumnya, ia menyelesaikan ujian terakhir, yaitu mata pelajaran IPA.

”Paling sulit itu, ya, matematika, yang perkalian bersusun itu. Takut tidak lulus ini. Kalau lainnya, yakin bisa,” kata Rahim di sela-sela rehat seusai menyapu ruas jalan antara Hotel Le Meridien dan City Walk, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, yang menjadi tugasnya.

Ujian selama tiga hari itu merupakan puncak dari sekolah malam selama 3 bulan terakhir. Biaya sekolah Rp 800.000 ia cicil empat kali. Hingga sekarang, biaya itu pun belum ia lunasi.

Selama ujian, Rahim mengajukan izin khusus untuk mengikuti ujian sehingga ia bekerja hanya pukul 05.00-08.30. Biasanya, jam kerjanya berakhir pukul 13.00. Pengajuan izin ditandatangani kepala sekolah tempatnya bersekolah malam.

Selama masa ujian, bapak dua anak itu mengantongi kemeja putih di balik seragam kerjanya yang berwarna oranye. Kemeja putih dan celana kain hitam merupakan syarat mengikuti ujian. Kemeja putih pinjaman dari kawan itu ia simpan baik-baik sebelum dikenakan agar tak kotor selama ia bekerja.

Dari tempat kerja ke sekolah di Palmerah, Rahim mengenakan baju seragam kebersihan. Di sekolah, ia berkumpul bersama belasan petugas Dinas Kebersihan, petugas Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (PPSU), dan petugas dari Badan Air untuk berangkat ke tempat ujian di Jalan Kembangan Utara.

Sesampainya di lokasi ujian, baru mereka berganti kemeja putih. ”Sebenarnya kami malu juga datang begitu. Ini mau ikut ujian atau mau bersih-bersih di sana, kok masih berseragam,” katanya sambil tertawa.

Awalnya, Rahim malu karena dalam usianya yang sudah tua itu harus kembali ke bangku sekolah, bahkan sekelas dengan anak belasan tahun. Warga Kembangan itu memutuskan mengikuti Ujian Kejar Paket A demi mempertahankan pekerjaannya saat ini. Untuk persiapan ujian, ia belajar bersama anaknya yang duduk di bangku SMA.

Menurut aturan baru, ijazah setara SD itu syarat mutlak untuk memperpanjang kontrak sebagai petugas kebersihan, tahun 2017. Penghasilannya Rp 3,1 juta per bulan merupakan sumber keuangan utama keluarga. Rahim masih menyimpan impian untuk menyekolahkan anak hingga perguruan tinggi.

Zaenal (52), petugas kebersihan di Jalan Gatot Subroto, Kelurahan Bendungan Hilir, juga bertekad lulus. Ia bahkan berniat mengulang lagi di tahun depan kalau tahun ini tak lulus. Bapak dua anak itu juga berencana melanjutkan pendidikan hingga memperoleh ijazah setara SMP dan SMA.

Zaenal mengaku kurang percaya diri saat ujian kali ini karena usianya. ”Yaaa… namanya juga sudah tua,” kata warga Lenteng Agung itu.

Sebelum ujian, ia mengikuti sekolah malam, pukul 19.00- 21.00. Dia bersekolah tiga kali sepekan selama 3 bulan. Selama sekolah, Zaenal tiba di rumah sekitar pukul 23.00 karena lokasi sekolah di Palmerah jauh dari rumahnya. Pukul 05.00 dia sudah bersiap kerja lagi.

Selama lebih dari 25 tahun bekerja sebagai penyapu jalan, baru kali ini Zaenal mengantongi penghasilan Rp 3,1 juta. Sebelumnya, bertahun-tahun menjadi tukang sapu di perusahaan swasta, pendapatannya hanya sekitar Rp 1 juta sebulan.

”Ya karena sekarang gaji lumayan, ya, saya tidak keberatan kalau harus sekolah lagi,” kata Zaenal yang sudah melunasi biaya sekolah dengan cara mencicil dua kali.

Zaenal, anak ketiga dari 12 bersaudara, pernah sekolah hingga kelas VI SD di Lenteng Agung. Beberapa bulan sebelum kelulusan, ayahnya terkena stroke sehingga warung keluarga gulung tikar untuk menutup biaya berobat. Ia terpaksa keluar sekolah karena tak ada biaya lagi.

Meningkatkan martabat

Meski diawali keengganan, kini petugas kebersihan merasa ijazah akan meningkatkan martabat mereka. Tanpa ijazah, rasa malu kerap menghantui. Mereka juga sering merasa dianggap bodoh oleh orang sekitar.
Yang paling buruk, mereka terancam kehilangan pekerjaan sewaktu-waktu. ”Dulu jadi tukang sapu hanya butuh KTP dan KK. Sekarang saingannya sudah banyak, anak-anak muda lulusan SMP dan SMA. Jadi sering takut,” kata Chadiroh (49), yang bertugas di perumahan sekitar Gerbang Pemuda atau Manggala Wanabhakti, Kelurahan Gelora, Jakarta Pusat.

Baginya, ijazah setara SD itu merupakan jaminan rasa aman untuk terus bekerja. Perempuan berambut pendek itu sama sekali tak pernah sekolah. Ia belajar membaca dan berhitung dari teman-temannya.

Sekretaris Dinas Pendidikan DKI Jakarta Bowo Irianto menyebutkan, peserta ujian Paket A di DKI 4.866 peserta. Mereka umumnya pekerja informal, seperti tukang sapu, petugas kebersihan, dan petugas PPSU yang dituntut punya ijazah setidaknya tingkat SMP dan SMA.

”Tak hanya warga DKI Jakarta, peserta ujian Paket A juga berasal dari daerah yang merantau ke Jakarta untuk mencari pekerjaan, begitu juga peserta Paket B dan C. Mereka berusaha memperbaiki kondisi ekonomi dan menambah pengetahuan dengan ikut program Paket A, B, atau C,” ujarnya.

No comments:

Post a Comment