Program Corporate Social Responsibility (CSR) yang biasa digalang oleh perusahaan menjadi perhatian akhir-akhir ini. Khusunya setelah berbagai perusahaan ikut membangung sejumlah fasilitas umum di DKI Jakarta.
Kepala Deputi Komite CSR Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Maria Nindita mengatakan, selama ini, pemaknaan CSR sering salah. Karena itu, ia mengingatkan Gubernur Ahok untuk berhati-hati dalam menyebut sesuatu yang dia maksud dengan CSR.
"Jadi, untuk Pak Ahok, sebaiknya jangan sampai tertukar antara CSR dan kewajiban perusahaan, dan CSR itu sifatnya bukan cuma sumbangan, ya," kata Maria di Gedung Nyi Ageng Serang, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (20/5/2016).
Ahok menyebutkan bahwa pendanaan sejumlah pembangunan di DKI Jakarta berasal dari perusahaan. Namun, pendanaan ini ada yang bersifat wajib, dan ada yang sukarela.
"Kalau yang kontribusi tambahan itu wajib, kalau CSR itu kan sukarela. Pemerintah tidak bisa memaksa, dong," kata Maria.
Maria juga menyarankan agar Ahok menerapkan asas akuntabilitas dan transparansi dalam mengelola CSR, seperti membuka data yang dapat berguna bagi rujukan perusahaan, dan bekerja sama dengan universitas untuk meriset.
Dalam menerima CSR, pemerintah seharusnya hanya menjadi fasilitator dan tidak berhak memaksa korporasi.
"Yang kurang dari Pak Ahok itu collective action atau gotong royong dalam menyelesaikan masalah. Jangan sendiri dong, Pak, capek. Gandeng universitas, open government," kata Maria.
No comments:
Post a Comment