Saturday, May 21, 2016

Soal Kontribusi Pengembang, Ahok Tak Bisa Dipidana Kecuali Terima Suap

 Diskresi Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok perihal kontribusi pengembang reklamasi dinilai tidak bisa dipidana. Pasalnya, diskresi tersebut termasuk dalam kebijakan dan untuk mengatasi stagnansi.
"Jadi suatu kebijakan karena wewenang sendiri enggak bisa (dipidana). Kecuali kebijakan itu dilatarbelakangi pidana yang bisa dibuktikan dengan penerimaan suap," kata Ketua Bidang Studi Hukum Administrasi Negara (HAN) Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dian Simatupang saat dihubungi Kompas.com di Jakarta, Jumat (20/5/2016).
Suap dalam hal ini merupakan pendapatan keuntungan dari kebijakan untuk kantong pribadi dalam bentuk apa pun. Namun, kebijakan Ahok soal kontribusi pengembang reklamasi dimanfaatkan untuk fasilitas umum.
Sepanjang hasil kontribusi itu dipakai untuk fasilitas umum, dibuatkan laporan pertanggungjawaban keuangan daerah, Dian menilai tindakan Ahok bukanlah gratifikasi ataupun suap.
"Tapi bagian dari konsensi, perjajian yang disepakati ada dasar hukumnya," kata Dian.
Diskresi Ahok soal kontribusi pengembang reklamasi juga dinilai tepat. Pasalnya,  belum ada regulasi yang mengatur soal itu. 
Diskresi Ahok dikakukan pada Maret 2014, sedangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintah baru disahkan pada Oktober 2014.
"Oleh sebab itu, prosedurnya enggak harus melalui itu (Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014), bisa langsung. Kalau secara prosedur dia harus melapor ke Presiden, Mendagri dan Menteri Kelautan. Tapi karena belum ada, dia mengambil keputusan sendiri karena melekat wewenangnya," kata Dian.
Bahkan dalam UU Administrasi Pemerintah disebutkan bahwa diskresi adalah wewenang yang melekat pada PNS dan pejabat negara. Diskresi dibuat untuk mengatasi kebuntuan, persoalan yang mengandung hukum dan menghindari adanya kriminalisasi.
"Tapi itu bukan untuk orang-orang dia berniat jahat, tapi berniat baik mengambil kebijakan," kata Dian.
Selidiki BPKP dan BPK
Kendati demikian, Dian mengungkapkan untuk menilai kebijakan Ahok salah atau tidak, maka instasi Badan Pengawasan dan Keuangan Pembangunan (BPKP) atau Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bisa turun tangan.
Pemeriksaan itu bisa diminta oleh Ahok dan hasilnya bisa diberikan langsung pada presiden. Kewenangan iti tertuang dalam Pasal 20 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan.
"Jadi BPKP atau BPK melakukan penilaian apakah ini kesalahan administrasi atau kesalahan administrasi yang berujung pidana," kata Dian.
Jika BPKP tak menemukan kesalahan administrasi yang menimbulkan kerugian negara, maka dalam waktu 10 hari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Gubernur mengganti kerugian.
Jika keberatan, dapat mengajukan permohonan ke PTUN. Berbeda apabila BPKP hanya menyatakan ada kesalahan administrasi dan tidak ada kerugian negara. Aparat penegak hukum, menurut Dian, tidak bisa masuk dan memprosesnya lagi.
“Oleh sebab itu cara yang tepat menurut saya, diskresi tersebut dilaporkan kepada Presiden sebagai pejabat atasan sesuai prosedur dalam UU Adpem," ujar Dian.

No comments:

Post a Comment