Saturday, May 21, 2016

Rintihan Pasien Kanker, Berharap RS Kanker di Lahan Sumber Waras Terwujud

Pesatnya perkembangan penyakit kanker membuat rumah sakit pusat kanker nasional di Jakarta tak pernah sepi pasien. Mereka yang datang dari luar kota rela menyewa kamar kos, mengontrak, atau tinggal di rumah-rumah singgah. Opsi itu dipilih karena antrean pelayanan kesehatan yang lama.

Perempuan-perempuan berkepala plontos duduk santai di kursi sofa rumah singgah milik Cancer Information and Support Center (CISC) di Slipi, pertengahan April. Terlihat perban putih menutupi beberapa bagian tubuh mereka, seperti pipi dan telinga. Bekas jahitan operasi juga tampak di sela-sela rambut yang mulai tumbuh. Bekas luka itu menjadi saksi ketangguhan mereka melawan sel kanker yang menggerogoti tubuh.

Sore itu, mereka bersantai menonton televisi, makan, dan bercengkerama. Sejenak, mereka beristirahat seusai kelelahan mengantre, kontrol, dan periksa ke rumah sakit pada pagi hari. Setiap pagi, setelah memasak dan sarapan, satu demi satu pasien kanker itu pergi ke RS Dharmais. Di pusat kanker nasional itu, mereka mengupayakan kesehatan untuk melawan sel kanker.

Munawaroh (28) harus meninggalkan anaknya yang masih balita di Bogor. Sudah beberapa bulan ini dia menjalani kemoterapi di RS Dharmais. Ia menggunakan fasilitas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk berobat. Ibu satu anak itu pun bersyukur CISC membantu memberikan tempat singgah. Karena masih kemoterapi dan terapi sinar, ia sulit untuk bolak-balik ke rumahnya di Bogor.

"Di sini, saya cukup membawa uang saku untuk biaya makan sehari-hari. Saya juga bertemu banyak teman pasien kanker sehingga tidak merasa sendirian," ungkap Munawaroh.

Di rumah singgah itu, Munawaroh tinggal bersama 13 penghuni lain. Mereka rata-rata pasien kanker payudara. Erna (46), misalnya, sudah 2,5 tahun tinggal di rumah singgah itu. Ia adalah penderita kanker payudara stadium 4B yang menjalani perawatan di RS Dharmais.

Di Poso, suami Erna bekerja sebagai pengusaha kecil-kecilan. Selain membiayai makan dan kos Erna, suaminya juga merawat dua anak yang berusia 19 tahun dan 13 tahun. Erna membenarkan, saat berobat di RS Dharmais, ia kerap mengantre berbulan-bulan untuk mendapatkan perawatan kemoterapi ataupun radiasi sinar. Karena termasuk kanker ganas stadium 4B, Erna tidak dioperasi. Ia hanya mendapatkan kemoterapi dan penyinaran rutin.

"Di sini, saya sangat terbantu karena tidak perlu membayar biaya kos yang mahal. Untuk biaya pengobatan, saya memakai BPJS," ujarnya.

Fasilitas terbatas

Berdasarkan data Yayasan Kanker Indonesia (YKI), perkembangan penyakit kanker di Indonesia sangat pesat. Kini, sekitar 10.000 kasus kanker baru di Jakarta, sejumlah 7.000 kasus di antaranya kanker stadium lanjut.
Data RS Kanker Dharmais menunjukkan, sepanjang 2005-2007 ada 2.480 kasus baru kanker payudara. Kanker serviks ada di urutan kedua, yakni 1.229 kasus. Setiap tahun, ada 18,6 perempuan dari 100.000 penduduk di Jakarta yang menderita kanker payudara.

Akibatnya, rumah sakit pusat kanker di Jakarta pun tak pernah sepi dari pasien. Ketua YKI DKI Jakarta Veronica Basuki Tjahaja Purnama mengatakan, fasilitas kesehatan yang melayani pasien kanker sangat terbatas di Jakarta. Fasilitas itu tidak sebanding dengan jumlah pasien yang membutuhkannya. Pelayanan pun tak terstruktur sehingga menyulitkan pasien.

Hal itu diakui Amir (56), warga asal Banda Aceh yang sedang mencarikan kamar untuk anaknya, 18 April. Anak perempuannya divonis menderita kanker sumsum tulang belakang sejak empat bulan lalu.
Awalnya, anaknya diperiksakan di RS di Kuala Lumpur, Malaysia. Menurut dia, fasilitas di Kuala Lumpur lebih lengkap. Dokternya pun lebih jelas dan tegas saat memberikan diagnosis. Di Jakarta, mencari kamar saja ia harus mengantre berjam-jam. Itu pun belum tentu dapat kamar karena sering kali penuh.

"Kalau di Malaysia, sekali berobat bisa sampai Rp 20 juta. Di sini lebih murah karena pakai BPJS. Tapi ya itu, banyak ketidakpastian sejak di meja resepsionis," kata Amir.

Dio Akbar Ramadhan (16) yang mengantar ibunya periksa kanker serviks pun mengalami hal serupa. Sejak 2014, ibunya menjalani kemoterapi, terapi sinar luar dan dalam di RS Dharmais. Untuk mengakses pelayanan itu, terkadang ia harus mengantre berbulan-bulan. Karena itu, meskipun rumah di Bekasi, ia dan ibu memilih kos di belakang RS Dharmais.

"Antreannya suka enggak jelas. Terkadang sebulan, dua bulan, tiga bulan, tergantung dari dokter dan BPJS-nya," kata Dio.

Penanganan segera

Esterina Sutiono dari Humas CISC mengatakan, pasien memang harus mengantre selama 2-3 bulan untuk perawatan sinar ataupun kemoterapi. Hal itu sangat merugikan pasien karena mereka membutuhkan perawatan segera, apalagi pasien stadium lanjut yang berkejaran dengan waktu.

Terkadang, pasien stadium terminal membutuhkan pelayanan paliatif. Pasien paliatif umumnya tidak mendapatkan perawatan medis untuk membunuh sel kanker. Mereka mendapatkan dukungan moral, spiritual, obat penahan nyeri, dan kenyamanan untuk meninggal dengan cara bermartabat. Para pasien paliatif ini pun terkadang memenuhi ranjang rumah sakit yang sebenarnya bisa digunakan untuk perawatan kuratif.
"Melihat kondisi seperti itu, jika DKI Jakarta punya rumah sakit kanker dan paliatif, akan sangat mendukung. Pasien kanker sangat membutuhkan tambahan perawat, tenaga medis, dan fasilitas tambahan," kata Ester.

RS khusus kanker di Jakarta diharapkan dapat memecah kepadatan pasien RS Dharmais. Pasien kanker paliatif pun bisa leluasa berobat di RS khusus itu. Kini, pasien dari luar kota dan DKI banyak berobat di RS Cipto Mangunkusumo, RSPAD Gatot Subroto, dan RS Dharmais. Dengan adanya BPJS Kesehatan, orang semakin sadar untuk memeriksakan kesehatan berkala. Akibatnya, jumlah pasien di RS membeludak.

Sayangnya, niat Pemprov DKI membangun RS khusus kanker terganjal. Badan Pemeriksa Keuangan menemukan indikasi potensi kerugian negara Rp 191,3 miliar dari pembelian tanah RSSumber Waras. Lahan seluas 3,64 hektar itu menurut rencana akan dibangun RS khusus kanker. Kini, masalah itu sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi.

Para pasien kanker berharap kebutuhan menangani penyakit mematikan itu jangan kalah oleh manuver politik semata.

No comments:

Post a Comment