Pembahasan revisi Undang-Undang No 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah masih belum selesai di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meski pilkada sudah semakin dekat.
Beberapa pasal kemungkinan akan diganti dalam Undang-undang itu. Nantinya, revisi tersebut akan memengaruhi jalannya pilkada di Indonesia, termasuk di Jakarta.
Pilkada DKI Jakarta sudah terdengar gaungnya meski pelaksanaannya baru pada 2017 mendatang. Sebagai penyelenggara pilkada di Jakarta, bagaimana komentar Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta?
Komisioner KPU DKI Jakarta, Fadhilah mengatakan bahwa KPU tetap mengacu kepada UU Pilkada yang belum direvisi.
"Kami mengatur teknis penyelenggaraan yang tidak bertentangan dengan Undang-undang," ujar Fadhilah dalan sebuah diskusi di Rawamangun, Sabtu (21/5/2016).
Meskipun ada pihak-pihak yang menilai beberapa pasal di Undang-undang tersebut salah atau tidak adil, Fadhilah mengatakan, KPU tetap akan mengacu kepada Undang-undang tersebut.
Jika revisi selesai dilakukan, KPU baru akan menyesuaikan kembali aturan yang dibuat dengan Undang-undang yang baru.
Hal yang sama disampaikan oleh Kepala Badan Pengawas Pemilu DKI Jakarta Mimih Susanti. Mimih mengatakan, Bawaslu juga tetap mengacu kepada Undang-undang No 8 tahun 2015 tentang Pilkada yang ada saat ini.
Dia juga mengatakan, Bawaslu tetap mengacu kepada UU tersebut jika revisi sudah selesai dilakukan oleh DPR RI.
"Kami akan terima apapun kemauan yang di Senayan itu," ujar Mimih.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah menerima draf revisi Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang diusulkan pemerintah. Dengan diterimanya draf dan surpres ini, DPR kemudian mempercepat pembahasan revisi UU Pilkada sehingga bisa diberlakukan pada pilkada serentak 2017.
Ketua Komisi II Rambe Kamarulzaman mengatakan, dalam draf yang diserahkan pemerintah terdapat sejumlah perubahan, di antaranya, adalah untuk memberikan sanksi bagi parpol yang tak mengusung calon.
Dengan begitu, diharapkan tak ada lagi calon tunggal dalam pilkada serentak mendatang. Namun, ada juga yang tidak berubah seperti syarat bagi calon perseorangan atau independen yang akan maju dalam pilkada.
Nantinya, DPR-lah yang akan mengubah persyaratan itu menjadi lebih berat sehingga ada keadilan dengan calon yang diusung partai politik.
Saat ini, untuk ikut pilkada, calon independen harus mendapatkan minimal 6,5 sampai 10 persen KTP berdasarkan daftar pemilih tetap pada pemilu sebelumnya.
Rambe mengatakan, syarat tersebut terlalu ringan. Komisi II DPR berencana menaikkan angka itu menjadi 10-15 atau 15-20 persen.
No comments:
Post a Comment