Minggu-minggu terakhir menjelang Soeharto berhenti sebagai Presiden, situasi sangat menegangkan dan penuh ketidakpastian.
Dinamika di lapangan bergulir cepat. Bahkan, intelijen sehebat apa pun tidak dapat mengantisipasi.
Tuntutan masyarakat terus meningkat tak terkejar oleh respons pemerintah yang kelihatan selalu terlambat.
Begitulah situasi Indonesia jelang jatuhnya rezim Orde Baru, 21 Mei 1998, yang digambarkan oleh Wiranto dalam bukunya "Bersaksi di Tengah Badai". Saat itu, Wiranto menjabat Menhankam/Panglima ABRI.
Dalam kondisi seperti itu, isu dan desas-desus sangat mudah berkembang dan akhirnya sering kali diterima masyarakat sebagai kebenaran.
Akibatnya, situasi yang sudah panas, menjadi makin panas. Ketegangan meningkat dan keadaan semakin sulit dikendalikan.
Isu-isu seputar kapan Soeharto berhenti sebagai Presiden, perombakan kabinet, bahkan kudeta ABRI berkembang di tengah masyarakat pada pertengahan Mei 1998 itu.
Ketua Umum Partai Hanura Wiranto
Tap MPR dipakai
Wiranto bercerita, setelah kembali ke Tanah Air seusai kunjungan ke Mesir pada 15 Mei, Soeharto memanggil para menteri.
Saat itu hadir Menko Polhukam Feisal Tanjung, Mendagri R Hartono, Mensesneg Saadillah Mursjid, Menteri Kehakiman Muladi, Menteri Penerangan Alwi Dahlan, Kepala Bakin Moetojib, Jaksa Agung Soedtjono C Atmonegoro, dan Wiranto.
Dalam pertemuan itu, Soeharto meminta laporan perkembangan terakhir, terutama selama dirinya di luar negeri.
Wiranto mengatakan, saat itu ada hal yang tidak tersiar ke publik, yakni keinginan Soeharto menggunakan Tap MPR No V/1998. Pasalnya, situasi nasional memburuk.
Tap MPR itu tentang pemberian kewenangan khusus kepada Presiden Mandataris untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk kesinambungan pembangunan nasional.
Rencana Soeharto, membentuk badan baru semacam Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban.
Soeharto ketika itu mengatakan, komando badan itu tidak akan dipimpin Menhankam/Panglima ABRI karena sudah banyak tugas yang harus diemban oleh Wiranto.
Namun, saat itu Soeharto tidak memberikan penjelasan lanjutan dan pertemuan selesai.
Inpres Soeharto untuk Wiranto
Pada 18 Mei 1998, Soeharto menandatangani surat perintah instruksi presiden dengan nomor 16/1998. Isinya, mengangkat Menhankam/Panglima ABRI sebagai Panglima Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional. Wakilnya, Kepala Staf TNI AD.
Ada beberapa hal krusial sebagai tambahan kewenangan yang dimiliki Wiranto sebagai Panglima TNI dan Komando Operasi.
Pertama, menentukan Kebijakan tingkat nasional untuk menghadapi krisis yang sedang atau akan dihadapi.
Kedua, mengambil langkah untuk mencegah dan meniadakan sumber penyebab atau mengatasi peristiwa yang mengakibatkan gangguan keamanan dan ketertiban.
Ketiga, para menteri dan pimpinan lembaga pemerintah dan daerah membantu pelaksanaan tugas dan fungsi Komando Operasi tersebut.
Wiranto mengaku terkejut Inpres tersebut diserahkan Soeharto kepadanya pada tanggal 20 Mei malam.
"Surat ini akan digunakan atau tidak, terserah kepada kamu," ucap Soeharto kepada Wiranto ketika itu.
"Saya agak tersentak mendengar kata-kata Presiden. Benar-benar tidak seperti biasanya... Pada saat itu saya langsung menjawab, 'Baik, Pak, akan saya pelajari," kata Wiranto.
Wiranto merasa pernyataan Soeharto tidak lazim saat menyerahkan Inpres tersebut. Pasalnya, dalam kemiliteran, lazimnya atasan mengatakan, 'Ini saya kasih perintah, laksanakan!' Bawahan akan menjawab, "Siap, laksanakan!"
Berdasarkan pernyataan itu, Wiranto merasa Soeharto ingin dirinya mempertimbangkan, bukan perintah yang harus dijalankan.
"Itu pemahamanan saya. Kalau saya gunakan risikonya bagaimana, kalau tidak saya gunakan bagaimana kira-kira jalan keluar untuk mengatasi masalah negeri ini," kata Wiranto dalam acara Kick Andy.
Dalam perjalanan dari Cendana ke Mabes ABRI di Jalan Merdeka Barat, Wiranto mempelajari dan menganalisa dalam waktu singkat untuk mengambil sikap atas Inpres, yang mirip surat perintah 11 Maret (Supersemar) tersebut.
Tak pilih kudeta
Saat itu, Wiranto mengaku tidak pernah terlintas untuk mengambil alih kekuasaan. Wiranto mengaku, sejak awal dirinya berpendirian, jika dua dari tiga unsur negara, yakni pemerintah dan rakyat saling berhadapan, bahkan menyerang, maka posisi ABRI bakal sangat sulit. Pasalnya, dua unsur itu harus dibela ABRI.
Atas Inpres tersebut, Wiranto memiliki dua alternatif. Pertama, mempertahankan pemerintah, mengumumkan darurat militer, dan melakukan tindakan represif total.
Dengan cara itu, kata Wiranto, barangkali pemerintahan Orde Baru bisa bertahan untuk sementara waktu. Alternatif itu tidak menuntaskan masalah, bahkan akan memakan korban yang cukup besar di masyarakat.
Wiranto mengaku sempat bertanya kepada stafnya, berapa perkiraan korban jika ABRI mengosongkan gedung DPR/MPR dari kelompok demonstran. Jawaban yang diterima Wiranto saat itu, sekitar 200 orang sampai 250 orang akan mati.
Alternatif kedua, melakukan proses pergantian kepemimpinan dengan cara damai. Jika alternatif ini diambil, Wiranto yakin korban dapat dihindari.
"Dengan analisis cepat ini, akhirnya sebelum sampai di Mabes ABRI, saya telah mempunyai keputusan. Sehingga pada saat Kassospol Letjen SB Yudhoyono mendengar kabar ini dan kemudian bertanya kepada saya, 'apakah Panglima akan mengambil alih?' cerita Wiranto.
"Dengan tegas saya jawab,'Tidak, kita akan antarkan proses pergantian pemerintah secara konstitusional'. Dengan jawaban saya itu, secara spontan saya disalami oleh para perwira di Mabes ABRI," kata Wiranto.
Setelah mengambil keputusan itu, pada malam harinya, Wiranto dibantu staf di Mabes ABRI menyusun pidato. Pidato itu akan disampaikan Wiranto jika ada pergantian kekuasaan nantinya.
Pada 21 Mei pagi, Wiranto sempat menunjukkan Inpres tersebut kepada BJ Habibie, calon Presiden ketika itu. Wiranto merasa perlu menginformasikan kepada Habibie.
"Kalau tidak nanti bisa terjadi kesalahpahaman atau katakanlah kekeliruan informasi yang bisa membahayakan situasi saat itu. Saya tunjukkan bahwa saya mendapat instruksi Presiden dari Presiden Soeharto. Namun, saya tidak akan menggunakannya dengan banyak pertimbangan," cerita Wiranto dalam acara Kick Andy.
Pada Kamis, 21 Mei sekitar pukul 9.00 WIB, di ruang Credentials Room di Istana Merdeka, Soeharto mengumumkan berhenti sebagai Presiden. (baca: 21 Mei 1998, Berakhirnya Kekuasaan Soeharto dan Orde Baru)
Bertahun-tahun pascaperistiwa itu, Wiranto sering menerima masukan, pertanyaan dalam seminar atau diskusi soal Inpres tersebut. Sebagian masyarakat menilai, jika Wiranto mengambil alih kepemimpinan Soeharto, maka barangkali keadaan Indonesia tidak seperti sekarang.
"Secara spontan saya menjawab, 'Ya, benar sekali, barangkali keadaan tidak seperti sekarang, tetapi jusru bisa lebih buruk lagi daripada sekarang," kata Wiranto.
No comments:
Post a Comment