Tuesday, March 29, 2016

Cerita Masjid Luar Batang, dari Syiar Islam sampai Persembunyian Pejuang Kemerdekaan

Mata Mansur (62) menerawang saat diminta bercerita soal Masjid Keramat Luar Batang, Jakarta Utara, Senin (28/3/2016).
Warga RT 01/07 Luar Batang itu merupakan sesepuh di kampung yang terletak di bantaran Pelabuhan Sunda Kelapa tersebut. 
Ia memulai cerita dengan menyebut nama Al Habib Husein bin Abubakar Alaydrus sebagai pendiri masjid.
Mansur atau biasa disebut Cacung ini mengungkapkan, Habib Husein mendapatkan kesempatan dari Gubernur Jenderal VOC di Batavia saat itu sekitar tahun 1700-an untuk membuat sebuah rumah ibadah.
"Dari cerita dulu, mereka berjasa dan kemudian diberikan hadiah untuk membuat masjid untuk kegiatan keagamaan," kata Mansur saat berbincang dengan Kompas.com di Luar Batang, Jakarta Utara, Senin (28/3/2016).
Pembangunan masjid di dekat Pelabuhan Sunda Kelapa itu menjadi daya tarik sendiri bagi para pelaut yang singgah di Jakarta saat itu.
Mereka kemudian belajar agama dari Al Habib Husein.
"Barulah mulai ada satu masyarakat. Dulunya ini hutan, rawa-rawa. Lama-lama bertambah dan sekarang jadi padat. Itu sekitar hampir 300 tahun lalu," ungkap Mansur.
Penamaan Luar Batang juga memiliki cerita tersendiri. Menurut beberapa kisah, Habib Husein yang meninggal pada tahun 1756 itu mulanya hendak dimakamkan di daerah Tanah Abang.
Sebab, Belanda melarang pendatang untuk dimakamkan di daerah tersebut. (Baca: Ahok Disebut Hanya Benahi Jalan Menuju Masjid Luar Batang).
Namun, saat hendak dibawa dengan kurung batang (keranda bambu), jenazah Habib Husein tak ikut serta, Jenazah malah kembali ke rumahnya di dekat masjid.
Kejadian tersebut terus berulang hingga akhirnya jenazah Habib Husein dimakamkan di samping Masjid Luar Batang.
"Jadi namanya keluar dari kurung batang. Makanya namanya Luar Batang. Di luar dari keranda," kata Mansur.
Sejarah lainnya, seperti yang dialansir dari situs Jakarta.go.id, menyebutkan bahwa wilayah Luar Batang berada di luar batas pemisah berupa batang kayu yang dibuat Belanda di muara Sungai Ciliwung.
Patek ini dibuat untuk memisahkan kegiatan perdagangan Belanda di Pelabuhan Sunda Kelapa dengan para pelayan.
Perahu nelayan harus berlabuh di luar batang kayu, atau di sebelah barat sehingga daerah ini kemudian dinamakan Luar Batang.
Tempat perjuangan
Mansur yang lahir pada 1955 silam di Luar Batang bercerita, kampung tersebut bukan hanya lekat dengan ritual keagamaan.
Di sisi lain, saat masa kemerdekaan, Kampung Luar Batang menjadi tempat persembunyian para pejuang, termasuk orangtua Mansur, Arsa, yang merupakan pejuang kemerdekaan saat Agresi Militer Belanda I.
Menurut cerita, pasukan Belanda saat itu masih menguasai Pelabuhan Sunda Kelapa.
"Pejuang itu kan bergeriliya, bersembunyi. Habis nyerang, balik lagi sembunyi. Yang sudah merasa kepepet, identitasnya sudah dikenali Belanda, mereka persembunyian di situ (Luar Batang)," kata Mansur.
Alhasil, para pejuang tersebut tinggal hingga belasan tahun di kampung Luar Batang. (Baca: Warga Sesalkan Pelibatan Tentara dalam Rencana Penertiban di Luar Batang).
Mereka bergaul dan membaur dengan masyarakat sekitar hingga akhirnya menikah dan menetap.
"Kalau Pemda mengatakan kami pendatang daerah, itu salah besar. Seperti satu turun saya, lahir di Luar Batang. Sampai cicit saya, bapak saya juga dulu pejuang kemerdekaan yang tidak diakuilah," sambung Mansur.

No comments:

Post a Comment