Salah satunya adalah Gusriyadi (32). Dalam kesehariannya, ia bekerja sebagai karyawan swasta yang bekerja di salah satu perusahaan produsen minyak kayu putih. Ia menempati posisi di bidang distribusi.
Setiap pagi, ia bertolak ke tempat kerjanya di kawasan Batara, Bekasi. Setelah presensi, Adi (begitu dia disapa) langsung mengambil mobil dinas dan meluncur ke lapangan untuk menyuplai produk perusahaannya ke warung-warung yang ada di area Jakarta Barat.
"Saya distributor untuk pasar tradisional area Jakarta Barat," kata dia saat ditemui Kompas.com di kawasan tempat tinggalnya, Jumat (19/2/2016).
Biasanya, Adi menjalankan pekerjaannya sampai menjelang sore. Setelah beres, ia kemudian kembali ke kantor untuk mengembalikan mobil dinas, dan setelah itu, pulang kembali ke rumahnya di Kalijodo.
"Mesti bolak balik sih jadinya," ujar dia.
Adi merupakan warga asli Kalijodo. Ia lahir dan besar di tempat itu. Ia tinggal bersama adik-adiknya. Ayahnya sudah meninggal dunia, sedangkan ibunya menetap bersama keluarga besarnya di Pandeglang, Banten.
Menurut Adi, keluarganya sudah menyatakan bersedia dipindah ke rumah susun sederhana sewa. Namun, keluarganya belum mendaftatkan diri karena masih menunggu kedatangan ibunya dari Pandeglang.
"Soalnya di KK (kartu keluarga), nyokap kepala keluarganya. Kemarin udah nelepon, katanya dia mau datang ke sini," ujar pria yang masih melajang ini.
Petugas Kebersihan seperti Agus, Dede Sofyan (43) juga warga asli Kalijodo. Ia lahir dan menetap di sana sejak 1973. Anak dan istrinya pun ketahui sudah tinggal kawasan tersebut.
Dalam kesehariannya, Dede bekerja sebagai petugas kebersihan di Dinas Kebersihan DKI Jakarta yang berstatus petugas harian lepas (PHL). Saat ditemui Kompas.com, Dede diketahui sedang libur.
"Kebetulan saya hari ini liburnya," kata Dede.
Jika sedang masuk kerja, Dede biasanya mulai bekerja sekitar pukul 08.00, dan akan berakhir sekitar pukul 16.00. Ia diketahui bertanggung jawab terhadap kebersihan saluran air yang berada di Jalan Pangeran Tubagus Angke.
"Enggak tentu harinya. Tapi hari ini kebetulan saya dapat hari Jumat," kata Dede.
Mengenai keberadaan kafe-kafe di Kalijodo, menurut dia, sudah ada sejak ia kecil. Dia tidak tahu kapan eksistensi prostitusi dan perjudian di Kalijodo dimulai.
"Sudah ada dan udah rame dari dulu," ujar pria kelahiran 1973 ini.
Oleh Karena sudah terbiasa sejak kecil, menyaksikan perempuan-perempuan berpakaian minim di sekitar tempat tinggalnya menjadi sesuatu yang teramat biasa bagi ayah tiga anak ini.
"Biasa aja (kalau saya melihatnya)," kata Dede.
Marbot masjid
Udin (begitu ia disapa) mengaku baru empat bulan tinggal di Kalijodo. Sebelumnya, ia tinggal dan bekerja di salah satu pesantren yang ada di kawasan Jelambar, Jakarta Barat.
Udin pindah ke Kalijodoatas permintaan dari Rahmad Effendi, Ketua Masjid Al Mubarokah yang baru saja meninggal dunia pada pekan lalu akibat sakit.
"Pak Rahmad yang minta saya pindah ke sini," ujar dia.
Dalam kesehariannya, Udin tinggal di salah satu ruangan yang ada di masjid. Ia menetap sendiri. Anak dan istrinya berdomisili di Serang, Banten.
"KTP saya juga masih KTP Serang," kata dia.
Kehidupan Agus, Dede, Udin beserta warga Kalijodo lainnya yang punya kehidupan normal menjadi tidak terlihat saat bagi pandangan banyak orang, Kalijodo hanyalah tempat prostitusi dan perjudian.
Situasi semakin tak menguntungkan karena tempat tinggal mereka berada di bagian belakang, tertutup oleh keberadaan kafe-kafe yang berdiri di pinggir jalan utama.
Agus mengatakan, meski tak sanggup untuk menolak, cukup banyak warga Kalijodo yang sebenarnya tidak menginginkan keberadaan tempat perjudian dan prostitusi di sekitar tempat tinggalnya. Terutama, bagi warga yang memiliki kultur agama yang kuat.
Menurut Agus, hal itupula yang mendasari cukup banyak warga yang bersedia direlokasi.
"Mungkin memang saatnya kami hijrah," ujar dia.
No comments:
Post a Comment