Dalam beberapa kasus penertiban umum di beberapa kawasan, khususnya di Jakarta, didasari oleh tujuan mulia, yakni menata kota lebih baik.
Termasuk di antaranya menormalisasi sungai, seperti yang terjadi di Kampung Pulo dan Bukit Duri, serta yang terbaru menggusur permukiman kumuh Kalijodo untuk dikembalikan fungsinya sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Menurut pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH)-Unit Tindak Kekerasan Alldo Felix Januardy, baik normalisasi sungai atau RTH, tidak membuat Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta bisa seenaknya menggusur kawasan-kawasan di ibu kota negara.
"Demi alasan apapun, mau RTH atau normalisasi sungai, Ahok tidak bisa seenaknya main gusur," ujar Alldo saat diskusi panel dengan tema "Kota Tanpa Kekerasan", di Universitas Tarumanegara, Jakarta, Sabtu (20/2/2016).
Pasalnya, bila Pemprov DKI Jakarta berdalih akan membangun rumah susun (rusun) sebagai ganti hunian bagi masyarakat yang tergusur, menurut Alldo, hal ini juga bukan solusi.
"Kalau mau menggusur, mau dipindah ke rusun mana lagi? Sementara sekarang ruangnya sudah tidak ada," imbuh Alldo.
Ia menjelaskan, untuk mengejar kebutuhan RTH sebesar 30 persen dari total seluruh luas DKI Jakarta, tentu tidak hanya bisa menggusur satu kawasan saja.
Lahan di Jakarta untuk mengejar RTH tidak akan terpenuhi, karena RTH di Jakarta baru mencapai 9 persen.
Sementara untuk normalisasi, kata Alldo, di sepanjang Sungai Ciliwung sendiri ada masyarakat yang tinggal sekitar 3,5 juta jiwa.
Jika Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2011 terkait bantaran atau garis sepadan sungai sudah ditegakkan, sebanyak 3,5 juta jiwa ini akan kehilangan rumah.
No comments:
Post a Comment