Akibat bentrok dua kubu preman, Kombes PolKrishna Murti sempat menutup seluruh lapak judi di Kalijodo,Jakarta Utara. Tindakan keras ini dia lakukan ketika masih menjadi Kapolsek Penjaringan, di mana ia tak mau lagi ada bentrok serupa.
Sikap keras itu rupanya membuat segelintir orang yang merasa dirugikan dengan keputusan itu mencoba berbagai cara untuk merayunya. Dari menggerakkan mahasiswa sampai orang-orang yang bernaung di bawah partai politik.
Usaha pertama melalui pendekatan mahasiswa gagal, mereka sebelumnya berupaya merayu Krishna agar mencantumkan pasal karet sehingga lapak judi bisa digelar lagi. Namun, Krishna tetap pada pendiriannya.
Dari semua pendekatan yang pernah dialaminya, ada satu yang membuat Krishna geleng-geleng kepala. Yakni kedatangan orang-orang parpol.
Suatu ketika, Krishna mendapatkan telepon dari seorang perwira di Mabes Polri. Atasannya tersebut menyebutkan akan ada utusan parpol datang menemuinya, dia pun menyanggupi.
Namun dalam pembicaraan, ternyata mereka membawa misi dari Kalijodo untuk bisa membuka kembali tempat perjudian. Tidak hanya berbekal hubungan pertemanan dengan petinggi di mabes, mereka pun berani menyebut tokoh petinggi partai politik yang sedang berkuasa yang sudah memberikan izin untuk bisa membuka kembali arena perjudian.
Alasannya, untuk membina warga di sana. Selain itu, alasan lain menyangkut periuk nasi, karena sudah banyak yang nganggur setelah penutupan Kalijodo. Karena itulah mereka meminta dengan hormat agar kapolsek mengizinkan agar Kalijodo dibuka. Apalagi mereka beralasan bahwa perjudian yang berada di wilayah Tambora, Jakarta Barat juga dibuka.
Krishna sadar, arah pembicaraannya mulai mengarah yang tidak disukainya. Setelah menyampaikan ucapan terima kasih, dia lantas berkata lantang.
"Kalian bohong kalau alasan perut warga, Kalijodo minta dibuka kembali," kata Krishna dalam bukunya 'Geger Kalijodo'.
Dia berpandangan, perjudian selamanya cuma untuk keuntungan pribadi. Dengan demikian, dia bertekad selama menjadi kapolsek tak akan sekalipun menyetujui pembukaan lapak judi di Kalijodo.
"Selama saya menjadi Kapolsek Penjaringan perjudian di Kalijodo tidak akan saya buka," tegasnya.
Selain menggunakan yayasan yang pernah terlibat dalam perdamaian dan anggota partai. Rupanya preman Kalijodo tak pernah kehabisan akal. Mereka juga menggunakan tokoh warga Sulawesi Selatan yang lain untuk membujuknya.
Seseorang yang mengaku sebagai tokoh masyarakat datang menemuinya. Dia membawa lembaran tanda tangan 300 orang warga yang meminta agar lapak judi dibuka lagi. Namun, Khrisna tak percaya begitu saja, dia langsung memerintahkan anak buahnya pergi menyelidiki.
"Lewat anggota polsek dan informan-informan, kami mengetahui bahwa tanda tangan itu banyak yang dipalsu. Yang di depan memang masih benar, tetapi yang belakangan sudah banyak dipalsukan."
Krishna paham, penduduk yang bermukim di Kalijodo itu kebanyakan buta huruf, sehingga mereka tidak bisa tanda tangan, biasanya mereka hanya bisa cap jempol. Di KTP mereka biasanya hanya ada cap jempol, dan kalau mereka membuat tanda tangan tidak serumit tanda tangan yang ada di dalam surat tersebut.
Setelah tidak kenal lelah bergerilya untuk mengusahakan dibukanya lahan judi, suatu ketika salah satu preman bernama Bedul datang ke Polsek Penjaringan untuk membuat laporan, tentang aksi penipuan yang menimpa dirinya, dalam laporan kepada polisi tersebut, Bedul mengaku sudah mentransfer uang sebesar Rp 300 juta kepada seseorang yang katanya datang dari Makassar. Orang Makassar itu menjamin bahwa perjudian di wilayah Kalijodo bisa dibuka dengan aman, tak akan ada gangguan dari polisi.
Dari kasus penipuan yang menimpa Bedul itulah yang kemudian muncul guyonan, "Uang jin dimakan setan".
No comments:
Post a Comment