Jakarta memang kota metropolitan, tetapi banyak juga kampung-kampung di dalamnya. Jakarta yang adalah kota modern, namun masih terdapat kehidupan sederhana di jalan-jalan sempit yang melintasi ratusan rumah petak di tengah dan sudut Ibu Kota.
Demikian pandangan beberapa ahli tentang Jakarta. Pakar tata kota Marco Kusumawijaya menyebutkan, awalnya Jakarta merupakan kampung-kampung yang terkena pengaruh modernisasi sehingga berkembang menjadi kota.
"Kampung semakin hilang dan kota semakin cepat berkembang. Keduanya berlari dengan kecepatan yang berbeda. Sulit membayangkan kampung di masa depan," kata Marco dalam diskusi 'Apa Kampung, Apa Kota' di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (18/2/2016).
Pengaruh modernitas semakin subur diiringi dengan kemakmuran yang dialami oleh kelas menengah 'ngehe' yang dengan jumlah melebihi kelas menengah ke bawah.
Disebut 'ngehe' karena orang di kelas ini memiliki kemampuan finansial yang cukup dan selalu ingin punya standar hidup seperti kelas menengah ke atas.
Kelas menengah 'ngehe' ini juga punya sifat tidak peduli terhadap kearifan lokal dan cenderung melupakan budaya sendiri dan terbuka terhadap budaya luar, termasuk melupakan kampung.
Padahal, kampung itu memiliki fungsi tersendiri dari sebuah kota. Semisal, perantau dari sebuah daerah yang baru masuk ke kota, akan cenderung mencari orang dengan kampung yang sama.
"Kampung sebagai tempat perantara, pintu masuk, yang terletak di dalam ruang Jakarta. Orang Bangka kalau ke Jakarta cari temannya ke Pademangan, seperti itu," ujar Marco.
Kampung juga dipandang sebagai tempat berhuni dan tempat budaya ibu bernaung. Orang yang menghargai kampung, dapat menghadapi gelombang modernitas dengan mudah. Kampung juga berfungsi sebagai ruang yang relatif intim.
Marco memberi contoh Tokyo sebagai kota yang tidak meninggalkan kampung. Di sana, ada kampung-kampung yang pinggirnya dibiarkan sebagai tempat komersial, sedangkan dalamnya tetap hunian berupa kampung.
Hal itu menunjukkan, kampung dan kota sebenarnya bisa berkembang bersama.
"Tidak mungkin kota tanpa kampung. Ada asumsi kampung tidak modern, padahal sama-sama bisa modern. Gelombang sekarang seolah-olah modern hanya untuk satu jenis, yaitu kota."
"Padahal, orang yang tinggal di cluster juga kampungan, ujung-ujungnya ngumpul, main ping-pong, bikin kegiatan. Kampung lebih dalam dari kekumuhan, tapi adanya hasrat untuk membuat hidup jadi lebih guyub," ucap Marco.
No comments:
Post a Comment