Saya seorang istri yang sudah 7 tahun menikah dan memiliki 3 putra. Namun sudah 4 tahun ini suami saya tidak memiliki penghasilan tetap. Bahkan hampir setiap usaha yang dilakukan kurang berhasil sehingga otomatis semua pengeluaran keluarga dan suami, saya yang membiayai. Dua tahun belakangan saya tidak lagi membayar zakat, karena saya baca beberapa literatur bahwa diperbolehkan untuk berzakat kepada suami.
Pertanyaan pertama, bisakah saya tidak berzakat karena menganggap semua yang saya berikan kepada suami sebagai zakat saya (saya juga selalu memberi modal untuk usaha-usahanya). Kedua, apakah zakat tersebut harus saya ucapkan kepada suami?
Ketiga, apakah zakat harus dikeluarkan sesuai perhitungannya? Bagaimana kalau tidak sesuai perhitungan tapi kita yakin bahwa zakat yang diberi lebih besar dari perhitungan zakat yang harus dikeluarkan? Terakhir, jika ada 1 tahun saya tidak meniatkan untuk berzakat terhadap suami, tapi saya tetap membayar seluruh pengeluarannya, apakah saya harus membayar ulang zakat di tahun tersebut (karena tidak diniatkan dan tidak juga membayar zakat ke pihak lain) ? Mohon penjelasannya. (Annisa, Jakarta)
Ketiga, apakah zakat harus dikeluarkan sesuai perhitungannya? Bagaimana kalau tidak sesuai perhitungan tapi kita yakin bahwa zakat yang diberi lebih besar dari perhitungan zakat yang harus dikeluarkan? Terakhir, jika ada 1 tahun saya tidak meniatkan untuk berzakat terhadap suami, tapi saya tetap membayar seluruh pengeluarannya, apakah saya harus membayar ulang zakat di tahun tersebut (karena tidak diniatkan dan tidak juga membayar zakat ke pihak lain) ? Mohon penjelasannya. (Annisa, Jakarta)
Jawab Terima kasih Ibu Annisa atas pertanyaan yang baik. Untuk pertanyaaan pertama, Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan, tidak ada masalah bagi wanita yang mengeluarkan zakat perhiasan atau zakat lainnya kepada suami yang fakir atau memiliki utang yang tidak mampu dilunasi. Jika harta cukupnishab maka wajib zakat. Atau tidak berdosa istri memberi zakatnya kepada orang yang bukan menjadi tanggungan nafkahnya termasuk suami. Jadi, diperbolehkan menyalurkan zakat kepada suami dalam keadaan membutuhkan.
Menurut jumhur ulama, suami bukanlah tanggungan istri dalam mencari nafkah, sehingga diperbolehkan berzakat kepada suami yang fakir. Sebab, kefakiran suamilah yang termasuk ke dalam golongan mustahik delapan asnaf yang dijelaskan oleh Allah SWT dalam pendistribusian zakat. Demikian juga pendapat mazhab Imam Syafi’i, Ats Tauri, Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan asy Syaibani danYusuf Al-Qardhawi.
Menurut jumhur ulama, suami bukanlah tanggungan istri dalam mencari nafkah, sehingga diperbolehkan berzakat kepada suami yang fakir. Sebab, kefakiran suamilah yang termasuk ke dalam golongan mustahik delapan asnaf yang dijelaskan oleh Allah SWT dalam pendistribusian zakat. Demikian juga pendapat mazhab Imam Syafi’i, Ats Tauri, Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan asy Syaibani danYusuf Al-Qardhawi.
Meskipun menurut sebagian pendapat bahwa hal itu hanya anjuran sedekah sunnah bukan sedekah wajib (zakat), namun ulama menjelaskan suami bukan tanggungan wajib nafkah dari istri, jadi tidak dilarang berzakat kepada suami yang fakir.
Lain halnya jika mereka yang menjadi tanggungan Ibu, maka mereka tidak boleh mendapatkan zakat dari Ibu. Jumhur ulamamenjelaskan ada kategori siapa saja orang-orang yang tidak boleh menerima zakat, di antaranya, bapak, Ibu atau kakek, nenek hingga ke atas atau anak-anak hingga ke bawah, karena nafkah mereka di bawah tanggung jawab ibu. Rasulullah SAW bersabda :“Kamu dan hartamu itu untuk ayahmu” (HR. Ahmad dari Anas bin Syu’aib)
Kedua, sahnya sesuatu perbuatan atau ibadah tergantung niatnya. Jika ibadah zakat tanpa niat maka tidak menjadi amalan ibadah zakat. Menurut ulama fiqih pengucapan lafal niat zakat wajib dilakukan boleh dilakukan terang-terangan niatnya dan boleh juga tidak diucapkan secara terang-terangan, melainkan diniatkan di dalam hati bahwa harta tersebut sebagai zakat.
Ketiga, berdasarkan penjelasan ulama fiqih klasik dan kontemporer zakat itu dikeluarkan sesuai dengan perhitungan, dan persentase yang telah ditentukan (yaitu ada yang 2,5%, 5%, 10% dan 20%). Kalau tidak sesuai perhitungan yang ditentukan dan melebihi kadar zakat maka menjadi bernilai ibadah sedekah yang besar fadilahnya.
Keempat, seperti penjelasan yang kedua, bahwa menjadi mutlak sahnya ibadah seseorang termasuk berzakat adalah niat. Asy-Syuyuthi dalam kitab Al-Asbah wa an-Nadhoir menjelaskan”Segala sesuatu urusan tergantung maksud/tujuannya (niatnya)”. Kalau zakat Ibu di tahun lalu tidak diniatkan maka ada kewajiban untuk menunaikan zakatnya lagi.
Alhasil, berdasarkan penjelasan tersebut maka memberikan zakat mal kepada suami yang kondisi perekonomiannya sulit (fakir) maka sangat tidak berdosa atau diperbolehkan. Ibu wajib mengeluarkan zakat dari harta yang dimiliki jika harta Ibu itu telah mencapai nisab atau melebihinya. Demikian semoga dapat dipahami.
No comments:
Post a Comment