Monday, July 7, 2014

Opini Bumerang untuk Jokowi

Ahok.Org – Laporan Keuangan DKI Jakarta mendapat opini wajar dengan pengecualian. Perbedaan hasil pemeriksaan dengan tahun-tahun sebelumnya dipersoalkan.
Basuki Tjahaja Purnama mengaku tak terkejut mendengar isi pidato anggota Badan Pemerika Keuangan, Agung Firman Sampurna, di depan Rapat Paripurna Istimewa Dwar Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta, Jumat dua pekan lalu. Pelaksana tugas gubernur ini sudah mendengar bahwa auditori negara itu akan memaparkan banyak temuan tentang ketidakberesan pencatatan aset. “Kami tahu akan mendapatkan opini WDP,” katanya kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Namun, yang membuat Basuki alias Ahok bingung, Agug tidak menjelaskan kenapa terjadi perbedaan hasil pemeriksaan dengan tahun-tahun sebelumnya. Padahal pencatatan aset-aset yang dipersoalkan juga muncul pada audit 2013. “Tidak beresnya dari dulu, tapi kenapa mendapat WTP,” ucapnya. WTP atau wajar tanpa pengecualian menunjukkan laporan keuangan bagus.
Dua kali berturut-turut BPK menghadiahkan opini wajar tanpa pengecualian dengan paragraf penjelas (WTP DPP) untuk laporan keuangan DKI Jakarta. Keduanya di masa pemerintahan Gubernur Fauzi Bowo—2011 dan 2012. Opini langsung drop untuk laporan keuangan DKI Jakarta pada 2013—tahun pertama Gubernur Joko Widodo. “Kami lebih transparan, lebih rapi sekarang, bagaimana Anda bilang saya WDP?” ujarnya.
Mantan Bupati Belitung Timur itu mengatakan pemerintah DKI sudah melakukan berbagai langkah perbaikan dalam pengelolaan keuangan. Misalnya melakukan sensus aset pada 2013 dan memberlakukan transaksi nontunai untuk pembayaran lebih dari Rp 100 juta. Selain itu, BPK dilibatkan dalam cash management system bersama Bank DKI untuk memantau transaksi keuangan daerah secara real time.
Ahok wajar meradang. Namun seorang pejabat BPK yang mengetahui proses audit mengatakan ada perlakuan berbeda dalam kegiatan pemeriksaan 2013 dengan sebelumnya. Menurut dia, pada 2012, tim tak menemukan banyak persoalan signifikan karena sampel sengaja direkayasa jauh lebih sedikit. “Tahun ini sampling lebih banyak,” katanya “Makanya hasil berbeda.”
Pejabat yang menentukan sampel adalah seorang pengendali teknis di BPK Perwakilan DKI Jakarta. Pejabat ini disebut-sebut sebagai token alias orang kepercayaan anggota BPK, Sapto Amal Damandari. Sapto memimpin Auditorat Keuangan Negara V sampai Pertengahan 2013, sebelum digantikan Agung Firman. Manuver sang pengendali teknis sudah banyak jadi omongan, tidak hanya di lingkup internal BPK, tapi juga di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Sapto Amal menampik tudingan ada orang di BPK Perwakilan DKI Jakarta yang bermain atas perintahnya. “Badan Pemeriksa Keuangan telah menyerahkan seluruh proses audit kepada Kepala Perwakilan,” ujarnya.
Menurut pejabat tadi, perluasan sampel untuk laporan keuangan 2013 membuat hasil opini merosot tajam. Tidak hanya menjadi WDP, tapi lebih buruk dari itu. Arahnya disclaimer,” katanya. Disclaimer berarti auditor tidak berpendapat karena penyajian laporan keuangan buruk sekali.
Sempat beredar kabar, berbagai motif mewarnai penentuan opini untuk DKI Jakarta. Menurut dia, ada yang ingin opini buruk itu diberikan agar Joko Widodo, yang tengah maju menjadi calon presiden dalam pemilihan umum 9 Juli mendatang, menjadi negatif di mata publik.
Namun opini itu urung disematkan karena BPK khawatir opini disclaimer justru akan menjadi bumerang. Di detik-detik terakhir menjelang pengesahan, datang pertanyaan dari Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR, yang meminta, kalau benar disclaimer, opini-opini tahun sebelumnya harus diperiksa ulang. “Ini membuat ketar-ketir,” ujarnya. “Akhirnya diputuskan WDP.”
A.W. Thalib, anggota BAKN, mengaku tidak tahu soal itu. Menurut dia, BAKN hanya ingin BPK berkonsultasi tentang pemberian opini. “Tapi memang tidak boleh ada tawar-menawar opini,” katanya.
Agung Firman Sampurna juga menepis kabar adanya permainan dalam pemeriksaan laporan keuangan DKI Jakarta. Putra anggota DPR dari Partai Golkar, Kahar Muzakir, ini mengatakan, menjelang pemilu, lembaganya memang memperketat pemeriksaan.
***
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan DKI tahun 2013, tim auditor mencatat ada 86 temuan senilai Rp 1,54 triliun. Temuan tersebut terdiri atas temuan yang berindikasi kerugian daerah senilai Rp 85,36 miliar, temuan potensi kerugian daerah sebesar Rp 1,33 triliun, kekurangan penerimaan daerah senilai Rp 95,01 miliar, dan temuan 3E (tidak efektif, efisien, dan ekonomis) senilai Rp 23,13 miliar.
Ada sejumlah temuan yang merupakan warisan dari zaman Gubernur Fauzi Bowo yang baru masuk pada audit tahun ini. Satu di antaranya pengeluaran belanja yang diambil dari kas in transito Unit Pengelola Kawasan Pusat Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah serta Permukiman Pulogadung senilai Rp 16,88 miliar yang belum dipertanggungjawabkan. Nilai tersebut merupakan akumulasi sepanjang periode 2010-2012.
Bendahara Pengeluaran Unit Pengelola Transjakarta Busway juga didapati tim Auditor tidak memungut dan menyetorkan pajak penghasilan atas jasa operator bus sepanjang periode 2009-2013 senilai Rp 57,32 miliar.
Tim auditor juga menemukan bejibun persoalan pada sejumlah program baru zaman pemerintahan Jokowi. Sebut saja kegiatan pembuatan sistem informasi online, dari e-surat, e-dokumen, e-harga, e-budgeting, sistem belanja hibah dan bantuan sosial, e-aset, e-fasos-fasum, sampai e-pegawai, yang pengadaannya tak sesuai dengan ketentuan dan hasilnya tak sesuai dengna kesepakatan, sehingga berindikasi merugikan negara lebih dari Rp 1 miliar.
Penyaluran dana bantuan sosial Kartu Jakarta Pintar terindikasi ganda sebanyak 9.006 nama penerima dengan total nilai bantuan Rp 13,34 miliar. Selain itu, pengadaan bus Transjakarta dan bus ukurang sedang pada Dinas Perhubungan DKI tahun 2013 dinilai tidak sesuai dengan ketentuan sebesar Rp 118,40 miliar dan tidak dapat diyakini kebenaran harganya sebesar Rp 43,87 miliar.
Ada juga temuan pencairan biaya pengendalian teknis di 29 satuan kerja perangkat daerah sebesar Rp 27,96 miliar yang tidak didukung bukti pertanggungjawaban.
Dalam audit BPK untuk laporan keuangan DKI tahun 2012, BPK hanya melansir temuan-temuan yang nilainya minor. Sebut saja potensi kerugian pembongkaran bangunan SDN Cawang 01/02/03/05/06 minimal sebesar Rp 493,54 juta.
Di luar itu, BPK mencatat ada sejumlah persoalan sengketa aset, salah satunya jadi catatan WTP, yakni kasus sengketa lahan di Meruya Selatan. Mahkamah Agung memutuskan DKI Jakarta membayar ganti rugi materiil dan imateriil total Rp 391,42 miliar.
Amal Sapto kembali menegaskan tidak ada yang keliru dengan proses audit 2012 yang memberi opini WTP. Dia meyakini auditor tidak berani main-main karena seluruh proses pemeriksaan dikaji lagi oleh Inspektorat Utama BPK. “Penurunan opini bisa disebabkan oleh transaksi baru,” katanya—tidak melulu warisan yang lama.
Agung juga mengaku tidak ragu terhadap hasil kerja anak buahnya. Dia menegaskan, temuan terbesar di laporan keuangan DKI Jakarta memang soal aset. Dalam neraca per tanggal 31 Desember 2012, tercatat aset tetap Rp 342,28 triliun dan aset lainnya Rp 401,76 miliar, menjadi aset tetap Rp 319,01 triliun dan aset lainnya Rp 25,18 triliun. “Bagaimana mungkin dalam satu tahun terjadi penurunan aset tetap dalam jumlah yang begitu besar?” ujarnya.
Meski menyimpan banyak pertanyaan, Ahok mengaku menerima opini yang diberikan BPK. Namun dia menantang BPK mengaudit habis-habisan laporan keuangan DKI Jakarta pada tahun-tahun berikutnya. “Silakan audit anak buah saya, agar ketahuan borok-borok yang lama,” katanya. “Asal dengan satu syarat, standar yang dipakai sama dengan daerah lain.” [Majalah Tempo 7/7/14]

No comments:

Post a Comment