Thursday, September 22, 2016

Hasan Wirajuda: Sudah Final, Papua Bagian Integral Indonesia

Sudah final. Wilayah Indonesia adalah seluruh wilayah Nederlands-Indie dan Papua adalah bagian integral dari seluruh wilayah bekas koloni Belanda tersebut. Pepera juga sesuai sistem budaya setempat.

Dr. Hassan Wirajuda, Menteri Luar Negeri RI dua periode 2001-2009, menyampaikan pandangan itu pada Conference SInGA/SEA-ASEAN bertema Development and Human Security in Papua, Indonesia di Universitas Groningen, yang juga dihadiri detikcom Den Haag, Selasa (20/9/2016).

"Pada saat proses dekolonisasi telah disepakati bahwa wilayah Indonesia adalah seluruh bekas wilayah koloni Belanda tersebut," ujar Wirajuda di hadapan mahasiswa dan civitas akademika.

Penjelasan Wirajuda ini sesuai dengan perjanjian penyerahan kedaulatan antara Indonesia-Belanda dan prinsip-prinsip hukum internasional. Dalam hal ini berlaku prinsip "uti posseditis juris" yang menegaskan bahwa batas-batas wilayah negara baru pasca-kolonial sesuai dengan wilayah sebelum merdeka berdaulat.

Foto: Eddi Santosa/detikcomFoto: Eddi Santosa/detikcom

Sebelumnya mengenai Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 atau referendum, Wirajuda menegaskan bahwa pelaksanaannya sesuai dengan kesepakatan yang dicapai Indonesia-Belanda dalam Perjanjian New York 1962, dengan mediasi AS.

"Referendum saat itu merupakan solusi damai yang difasilitasi oleh AS di bawah pemerintahan Presiden Kennedy, sebab jika tidak Indonesia akan meneruskan mengambil kembali Papua dengan kekuatan militer," imbuh Wirajuda.

Saat itu, lanjut Wirajuda, kekuatan militer Indonesia berkali-kali lipat dari kekuatan yang sekarang dan mendapat dukungan dari Uni Sovyet, termasuk bantuan tahunan USD 1 miliar. 

Menurut Wirajuda, pelaksanaan referendum di bawah supervisi PBB itu memang betul tidak menggunakan mekanisme one man one vote melainkan one tribe one vote (satu suku satu suara melalui kepala suku, red) sebagaimana adat budaya setempat yang berlaku.

"Perlu diketahui pada pemilu Indonesia sekarang ini pun, dua atau tiga tahun lalu, beberapa distrik di Papua menuntut melalui Mahkamah Konstitusi agar bagi mereka berlaku ketentuan bukan one man one vote melainkan one tribe one vote sesuai budaya setempat," tegas Wirajuda.

Diuraikan bahwa sejak 1945 ada lebih dari 106 negara jajahan yang telah meraih kemerdekaan, sebagian besar tidak dengan referendum. 

"Orang Jawa, Bali, Sumatera pun tidak ditanya apa mau merdeka atau bergabung dengan Republik baru. Sabah dan Serawak dimasukkan menjadi bagian wilayah Federasi Malaysia, apakah melalui referendum? Tidak," jelas Wirajuda.

Dikatakan, pemerintah pusat perlu kesabaran dalam upaya membangun Papua. Sebagai konsekuensi UU Otonomi Daerah, pemimpin daerah di Papua memegang limpahan kekuasaan yang besar, uang yang melimpah, tapi kurang kapasitas, terutama sumber daya manusia.

Meskipun keadaannya demikian, sudah menjadi rahasia umum para pemimpin daerah Papua dengan kekuasaan yang besar dan uang yang melimpah itu lebih banyak menghabiskan waktunya di Jakarta, dan bahkan di Macau. 

"Dengan begitu banyak kekuasaan dan uang, mestinya Papua harus mampu mengatur rumah tangganya sendiri, itulah gunanya otonomi," cetus Wirajuda.

Universitas Groningen (Foto: Eddi Santosa/detikcom)Universitas Groningen (Foto: Eddi Santosa/detikcom)

Mengenai masalah kesenjangan, sebenarnya tidak hanya terjadi dan dialami di Papua, melainkan juga daerah-daerah lain di luar Jawa dan Bali. 

"Penyebabnya karena selama sekian tahun infrastruktur dan konektivitasnya kurang memadai, yang saat ini coba dikejar dan diatasi oleh pemerintah Jokowi," tandas Wirajuda.

Wirajuda memandang bahwa semua itu proses yang akan terselesaikan dengan baik seiring dengan berjalannya waktu dan dia menyambut positif kajian dan diskusi kritis ilmiah tentang Papua. 

"Indonesia saat ini termasuk negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia, anggota G-20, dan menurut survei sekitar 70% orang Indonesia merasa bahagia. Saya optimistis," pungkas Wirajuda. 

No comments:

Post a Comment